Investasi bitcoin semakin populer dan harganya terus meroket. Namun, hingga kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan kejelasan legalitas bitcoin sebagai salah satu produk investasi.

Direktur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fithri Hadi menyebutkan, ada tiga alasan Bitcoin tak kunjung mendapat legalitas.

Pertama, belum diketahui nilai fundamental atau fungsi dari bitcoin. Berbeda dengan logam berharga seperti emas yang secara fundemental memiliki fungsi. Pasokan emas dan logam berharga lainnya pasokannya terbatas, sehingga akan memengaruhi harga. Sementara bitcoin hanya berupa rangkaian angka.

"Kalau ini bitcoin kan ujungnya aset digital yang ada di server yaa 0,001. Rangkaian angka," kata Fithri dalam acara Kongkow Bisnis PAS FM topik 'Bitcoin, Peluang atau Jebakan?' di Jakarta, Rabu (13/12).

(Baca: Bitcoin Makin Populer, Ini Beberapa Cara Memilikinya)

Kedua, masih sulit mencocokkan bitcoin sebagai mata uang. Mengingat secara garis besar, dalam Undang-Undang (UU) Mata Uang ditegaskan bahwa hanya rupiah yang menjadi alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiga, OJK mencoba mencocokkan bitcoin sebagai produk investasi. Namun OJK menganggap tak ada yang bisa dijadikan jaminan (underlying) sebagaimana produk investasi lainnya. "Kami tanya ke beberapa pihak termasuk pakar atau pelaku langsung tidak ada," ujar dia.

Dengan ketiga pertimbangan ini, kata dia, sulit bagi OJK membuat regulasi ataupun melegalkan bitcoin. Namun karena bitcoin ini sudah banyak diperdagangkan oleh masyarakat, maka OJK terus melakukan observasi untuk mengatur bitcoin ini.

OJK akan mengkaji kriteria pembentukan harga yang adil hingga penyebab permintaan dan pasokannya naik. Dengan begitu, bisa diketahui peta jalan dari jenis investasi ini.

"Memang ini belum ada petanya di UU kami. Setiap inovasi yang ada mau diterima atau tidak? Ini kan baru. Apakah sistem hukum Indonesia mau terima atau tidak?" kata dia.

(Baca juga: Sebagian Besar Transaksi Bitcoin di Indonesia untuk Spekulasi)

OJK akan berhati-hati dalam menetapkan kebijakan terkait bitcoin terkait dengan perlindungan kepada konsumen atau masyarakat. "Kami lihat secara jernih apakah dia masuk investasi atau tidak? Apakah kedepan diendorse atau tidak? Kami kajian ke banyak negara," ujar dia.

Sementara itu Asisten Direktur Bank Indonesia (BI) Fintech Office Yosamarta mengatakan, BI berlandaskan kehati-hatian sehingga melarang bitcoin digunakan sebagai transaksi pembayaran baik oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran ( PJSP) ataupun financial technology (fintech). Berlaku juga untuk mata uang digital (cryptocurrency) lainnya.

"Bagaimana kami capai balancing, inovasi tidak mati dan konsumen nyaman dan terlindungi. Tanpa mematikan inovasi. Sejak 2014 kami sudah keluarkan stance," kata dia. "Bukan berarti dia haram. Tapi dia bukan legal tender yang sah."

Di sisi lain, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan mengatakan semestinya pemerintah bisa mengatur dari sisi bursa berjangkanya. Hal ini yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang dan Uni Eropa.

(Baca juga: Fund Manager Masuk, Bitcoin Diramal Tembus US$ 10.000 di Akhir Tahun)

Dengan mengatur bitcoin dari sisi bursa berjangka ini, maka pemerintah bisa meminimalisir tindak kejahatan. Baik itu kejahatan sejenis tindak pidana pencucian uang (TPPU), pembiayaan teroris, narkoba, perdagangan manusia, ataupun penipuan. Oscar menjelaskan, bitcoin menggunakan teknologi blockchain yang memungkinkan untuk dilacak.

"Dengan mengatur bursa itu maka penerapan Money laundering (ML) dan Know Your Consumer (KYC) akan beres. Kalau ada money game dengan bitcoin dan sebagainya kalau sudah diatur, jika ada yang ilegal semua arus transaksi bisa dilacak. Kan keunggulan bitcoin itu. Kalau sudah diatur tidak ada ekonomi hitam yang mengarah kesana," kata Oscar.