Keberatan penulis buku Tere Liye tentang besarnya pajak penulis ditanggapi Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Ken menilai ketentuan pajak yang berlaku saat ini tidak memberatkan. Maka itu, belum ada urgensi untuk merevisi ketentuan pajak tersebut.
"Sebenarnya (pajak royati untuk penulis) itu enggak berat kalau bisa hitung,” kata Ken usai Rapat Kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (6/9). Apalagi pajak tersebut bisa dikompensasikan (dikreditkan).
Ia menjelaskan, sesuai pasal 23 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), penghasilan royalti penulis buku dipotong 15% atas jumlah brutonya. Artinya, tidak ber-layer seperti dijelaskan Tere Liye. (Baca juga: Tere Liye Keluhkan Pajak, Pengamat: Pajak Royalti Penulis Buku Kejam)
“Enggak (layer). Final. Itu 15% dari royalti, bukan omzet bukunya,” kata dia. Ia mencontohkan, penulis menjual buku seharga Rp 100 maka dia akan menerima royalti sebesar 10%. Dari royalti yang diterima, Ditjen Pajak akan memungut pajak royalti sebesar 15%.
Di sisi lain, pajak bagi penerbit tidak ditanggung oleh penulis. Namun, ia tak menutup kemungkinan adanya penerbit yang membagi beban pajak penerbitan ke penulisnya. "Ya penerbit kan macam-macam,” ucapnya.
Atas dasar itu, ia memandang tidak ada hal mendesak yang memaksa instansinya untuk merevisi ketetapan pajak royalti bagi penulis.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga meluruskan perhitungan pajak Tere Liye. Namun, ia mengakui tarif pajak penghasilan (PPh) atas royalti yang sebesar 15% kelewat tinggi.
"Memang kejam ya? Saya setuju. Umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil," kata dia. Atas dasar itu, ia sepakat agar tarif PPh diturunkan.
Menurut dia, masukan tersebut juga sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan sebelumnya Bambang Brodjonegoro dan disambut baik. "Sayangnya, perubahan ketentuan harus melalui revisi UU PPh melalui DPR. Masih panjang dan lama," ujar dia.
Sebelumnya, penulis Tere Liye memutus kontrak dengan dua penerbit besar yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika untuk penerbitan 28 judul bukunya. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk protes kepada pemerintah lantaran membebankan pajak yang begitu besar kepada penulis.