Bank Indonesia (BI) mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan transaksi lindung nilai (hedging) dengan biaya yang murah. BI dan Kementerian BUMN telah menyusun Standart Operating Procedure (SOP) transaksi lindung nilai yang telah ditandatangani sejak 5 Juli 2017 lalu oleh Menteri BUMN.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, SOP mengenai transaksi lindung nilai untuk BUMN di antaranya memasukan dua produk baru berbiaya murah. "Sekarang ada produk baru yang lebih murah yang disebut call spread option maupun interest rate swap," ujar Perry disela acara sosialisasi tersebut, di Gedung BI, Jakarta, Senin (21/8). Selama ini, produk untuk melakukan hedging berupa FX Forward, FX Swap, dan FX Option.
Perry menjelaskan, call spread option merupakan gabungan dua transaksi yakni beli dan jual call option, dengan nominal, jangka waktu, mata uang yang sama, dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda. Artinya, melakukan lindung nilai terhadap volatilitas nilai tukar tertentu dengan kedua hal tersebut sebagai acuannya.
(Baca: Utang Luar Negeri Pemerintah Naik 7%, Utang Swasta Terkontraksi)
Perry menjelaskan, instrumen ini berbiaya murah karena di satu sisi perusahaan atau BUMN bisa membeli call spread atau membayar premi. Di sisi lain, dengan jangka waktu tertentu kemudian dapat menjual call spread tersebut. Dengan demikian, nett premi nya akan jauh lebih murah. "Kalau rata-rata forward swap itu biayanya 5%, dengan call spread ini biayanya bisa kurang dari setengahnya 5%," ujar Perry.
Kemudian, interest rate swap yakni kontrak pertukaran dua pembayaran suku bunga yang memiliki karakteristik berbeda dalam mata uang yang sama, tanpa penyerahan principal atau national amount. Perbedaan karakteristik tersebut antara lain sifat suku bunga atau index yang dipergunakan. Namun, menurut Perry instrumen ini masih dalam tahap finalisasi sehingga belum ada yang bisa menggunakan.
"Untuk produk ini sekali lagi kan perlu ada pembaharuan SOP nya supaya tata kelola tetep mengikuti tata kelola yang baik, sehingga kemudian, kami bahas dengan auditor maupun penegak hukum untuk meyakinkan bahwa lindung nilai ini bukan merugikan negara," ujar Perry.
(Baca juga: Utang untuk Tutup Defisit, Cadangan Devisa Cetak Rekor US$ 127 Miliar)
Perry menjelaskan, walaupun nilai tukar rupiah saat ini cenderung stabil, BI tetap menyarakan perusahaan khususnya BUMN untuk melakukan hedging tersebut. Dia menjelaskan, terdapat faktor ketidakpastian akan terus menghantui Indonesia yang bisa menyebabkan volatilitas, tekanan, dan gangguan di sisi ekonomi maupun bisnis domestik.
Rencana kenaikan suku bunga Amerika Seikat (AS), perbaikan neraca keuangan AS, risiko geopolitik khususnya di negara Asia dan Eropa, dan belum pulihnya ekonomi negara tujuan ekspor Indonesia merupakan contoh-contoh penyebab ketidakpastian tersebut.
Utang valas Indonesia sebesar US$ 320 miliar yang setengahnya milik swasta menyebabkan transaksi lindung nilai sebagai hal penting. Berbagai perusahaan dan BUMN dapat mempersiapkan pembayaran utang yang akan jatuh tempo selama tiga atau enam bulan sebelumnya. Dengan demikian, perusahaan dan BUMN tidak akan secara mendadak mencari valas di pasar spot yang menyebabkan likuiditas valas mengetat.
Namun, bukan berati selama ini transaksi lindung nilai tidak banyak dilakukan. Sejauh ini, proses transaksi lindung nilai justru telah banyak dilakukan. Perry menjelaskan, sampai triwulan I-2017 terdapat 2.660 perusahaan yang melapor ke BI, sebanyak 88% telah melakukan hedging untuk kewajiban pembayaran utang yang akan jatuh tempo tiga bulan mendatang.
(Baca: 173 Perusahaan Berpotensi Rugi Kurs dari Utang Valas)
Sementara, yang jatuh tempo enam bulan mendatang telah mencapai 90%. Instrumen atau produk baru ini disiapkan untuk semakin banyak perusahaan khususnya BUMN yang melakukan transaksi lindung nilai tersebut.
Sementara itu, Staff Khusus Menteri BUMN Sahala Lumban Gaol mengatakan, BUMN tidak mungkin biaa melepaskan diri dari tantangan dan resiko yang ada setiap harinya, terutama terkait finansial. Untuk itu, Kementerian BUMN pun sudah mengeluarkan edaran terkait dengan pedoman untuk melakukan hedging ini.
Namun, Sahala mengakui, proses lindung nilai ini terkadang dipandang begitu komplek dan dapat merugikan perusahaan yang dapat dinilai sebagai kerugian negara. Untuk itulah, pada perkembangannya ada kebutuhan akan guideline yang menjadi pedoman BUMN untuk bisa melakukan hedging tanpa takut akan pandangan-pandangan tersebut.
"Untuk itu perlu melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penegak hukum. Saya berharap kerjasama dan sinergi yang terbangun seakan-akan menjadi satu kesatuan," ujar Sahala.