PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) masih terbelit kredit macet dari dua perusahaan, yang maisng-masing bergerak di sektor retail dan manufaktur plastik. Jika restrukturisasi kredit berjalan lancar maka rasio kredit bermasalah BNI dapat turun lebih rendah dari target 2,8% pada akhir tahun ini.
Rasio kredit seret atau non performing loan (NPL) BNI pada paruh pertama tahun ini sebenarnya menunjukkan penurunan menjadi 2,8% dari 3% pada akhir tahun lalu. Meskipun NPL bersih (netto) bank pelat merah ini menunjukkan kenaikan menjadi 0,7% dari 0,4% pada akhir 2016.
Senior Executive Vice President Remedial & Recovery BNI Yuddy Renaldi menjelaskan, penurunan rasio NPL karena kondisi beberapa sektor usaha sudah mengalami perbaikan. Salah satunya sektor komoditas, seperti pertambangan batubara.
Selain perbaikan usaha debitor secara alamiah, BNI juga melakukan restrukturisasi kredit bermasalah dan macet. Restrukturisasi kredit seret itu meliputi sektor usaha pertambangan, tekstil, barang konsumsi (consumer goods) dan kelapa sawit.
Upaya tersebut telah membuahkan hasil. Jumlah kredit yang direstrukturisasi pada semester I-2017 turun menjadi Rp 29,4 triliun. Adapun, rasionya terhadap total kredit membaik menjadi 7,1% dari 8,4% pada periode sama 2016.
Menurut Yuddy, saat ini ada dua perusahaan yang memiliki kredit seret dengan nilai yang besar di BNI. Pertama, kredit PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO) sebesar Rp 1,3 triliun. Kredit seret perusahaan retail ponsel dan telekomunikasi ini sudah berlangsung sejak tahun lalu. Tahun ini, kredit tersebut sudah dihapusbukukan.
Nilai kredit Trikomsel itu mencapai 38% dari total kredit yang dihapusbukukan sebesar Rp 3,47 triliun pada semester I-2017. Adapun, tingkat pengembalian (recovery) kredit itu sebesar 31,6% atau senilai Rp 1,1 triliun.
Rasio tersebut lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 26,9% atau senilai Rp 531 miliar dari total kredit yang dihapusbukukan Rp 1,97 triliun.
Kedua, kredit PT Namasindo Plas sebesar Rp 1,5 triliun. Berbeda dengan kredit seret Trikomsel yang akhirnya dihapus dari pencatatan buku keuangan BNI, kredit Namasindo malah memperbesar kredit seret karena kolektabilitasnya turun ke level Dalam Perhatian Khusus pada Juni lalu.
Namasindo merupakan produsen botol minuman kemasan plastik, yang mayoritas pelanggannya adalah perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) besar. Antara lain PT Aqua Golden Mississipi (Aqua), PT Tirta Investama (VIT), PT Ades Waters Indonesia, PT Tang Mas (2 Tang), dan PT Sinar Sosro (PRIM-A).
Namasindo sempat menghadapi permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Bank ANZ Indonesia. Sebab, perusahaan dituding memiliki utang jatuh tempo senilai US$ 10,65 juta dan Rp 283,33 miliar. Tapi permohonan itu ditolak pengadilan karena utang tersebut tidak bisa dibuktikan.
Selain itu, Namasindo pernah menghadapi PKPU yang diajukan para pemasoknya karena dianggap tidak membayar kewajibannya.
Menurut Yuddy, BNI tengah menjalankan strategi restrukturisasi utang Namasindo dengan mengundang masuknya investor baru. Investor itu diharapkan menyuntikkan modal ke perusahaan tersebut.
Jika skema itu berhasil maka akan secara signifikan menurunkan kredit seret BNI. Sebab, kredit Namasindo Rp 1,5 triliun setara dengan 40% dari total nilai kredit seret BNI yang sebesar Rp 3,7 triliun pada semester I-2017.
Yuddy pun berharap, rasio NPL BNI di pengujung tahun nanti sebesar 2,8%. "Kami proyeksi dan optimisme kalau NPL itu minimal 2,8% sampai akhir tahun," katanya saat paparan publik BNI di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (7/8).
Di tempat yang sama, Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo mengatakan, NPL BNI dapat diturunkan berkat strategi pembatasan penyaluran kredit pada sektor-sektor yang berpotensi menyebabkan kredit macet.
Pembatasan tersebut tidak sampai mengganggu penyaluran kredit BNI, yang dapat tumbuh 15,4% menjadi Rp 412,18 triliun. Kredit itu terutama mengalir ke korporasi besar dan usaha kecil dan menengah (UMK). "Pertumbuhan kredit cukup mengesankan di saat pertumbuhan kredit di industri mencapai 9,5% per April 2017.”