Belanja Online Naik, Potensi Pajak Hilang Rp 20 Triliun per Tahun

Donang Wahyu|KATADATA
Seorang wanita sedang berbelanja keperluan sehari-hari di salah satu situs online.
Penulis: Desy Setyowati
3/8/2017, 08.00 WIB

Kalangan ekonom memperkirakan pola belanja masyarakat mulai beralih, dari konvensional menjadi belanja melalui jaringan internet (online). Dengan demikian, banyak e-commerce yang diuntungkan. Masalahnya peralihan pola belanja ini membuat negara berpotensi kehilangan penerimaan dari sektor pajak, yang diperkirakan mencapai Rp 20 triliun.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan belum mampu menjangkau potensi pajak dari transaksi e-commerce secara maksimal. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal mengakui, pengumpulan pajak dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan industri e-commerce belum sempurna.

“Kalau beli barangnya di UMKM dan online, kemungkinan pajaknya belum ter-collect (terkumpul) dengan sempurna,” ujarnya saat ditemui beberapa waktu lalu di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta. (Baca: Konsumen Indonesia Paling Gemar Belanja Bulanan di Toko Online)

Hingga saat ini Ditjen Pajak masih mencari cara agar pengumpulan pajak di sektor ini bisa maksimal. Menurut Yon, pelaku e-commerce yang berkapasitas besar rata-rata sudah cukup taat membayar pajak. Namun, tidak demikian untuk wajib pajak UMKM di sektor e-commerce. Sebab Ditjen Pajak tak memiliki data yang lengkap dan valid mengenai pelaku usaha tersebut.

“Yang susah adalah pemain yang kecil-kecil, karena database belum seluruhnya kami punya. Sudah berkembang terus database-nya, tapi ini enggak bisa sekaligus selesai (dikumpulkan datanya),” kata dia.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan total transaksi penjualan e-commerce saat ini diperkirakan sekitar Rp 150 triliun-Rp 200 triliun per tahun. Jika Ditjen Pajak tak mampu mengumpulkan pajak dari sektor ini, maka negara akan kehilangan potensi penerimaan pajak dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), sebesar 10% dari total transaksi tersebut.

“Kalau PPN sekitar Rp 15-Rp 20 triliun, termasuk PPh. Akan semakin besar (potensi kehilangan penerimaan pajak) kalau tidak dipenuhi (pengumpulannya),” kata dia kepada Katadata, Selasa (1/8).  (Baca: Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Pajak E-Commerce)

Menurutnya, Indonesia bisa meniru Korea Selatan (Korsel) yang sudah menerapkan kebijakan apik dalam memungut pajak dari e-commerce. Tetapi itu pun karena Korsel sudah memiliki sistem gerbang pembayaran nasional (National Payment Gateway/NPG) yang baik. Dengan begitu, pengawasannya menjadi lebih mudah dan tertata. Sementara di Indonesia, sistem NPG baru saja berjalan.

Senada dengan Prastowo, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prastiantono mengakui bahwa kesulitan memajaki industri e-commerce adalah dari sisi pengawasan. Terutama untuk mengawasi transaksi jual-beli, yang melalui sistem perbankan secara jaringan (online).

"Karena setiap orang bisa buat website dan alamatnya bisa berpindah-pindah. Bagaimana memaksa mereka untuk comply (taat pajak)? Saya tahu itu sulit," ujarnya

(Baca juga: Pemerintah Targetkan 8 Juta UMKM Merambah Dunia Maya pada 2020)