OJK Akan Beri Kemudahan Restrukturisasi Kredit untuk Bank Tertentu

Katadata | Arief Kamaludin
Editor: Yura Syahrul
2/8/2017, 17.00 WIB

Perbankan harus bekerja lebih keras lagi untuk menekan risiko kredit macet. Sebab, masa berlaku aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai kemudahan restrukturisasi kredit perbankan akan berakhir bulan Agustus ini. Meski begitu, ke depan, OJK tetap berencana memberikan kemudahan restrukturisasi kepada bank-bank tertentu saja.

Ketentuan relaksasi restrukturisasi kredit bermasalah ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK/03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum. Inti dari aturan itu adalah memberikan kemudahan bagi bank untuk melakukan restrukturisasi kredit yang terancam macet.

Contoh kemudahan itu adalah bank dapat langsung melakukan restrukturisasi di awal terhadap kredit yang diduga akan macet tanpa harus menunggu kolektabilitasnya bermasalah. Syarat untuk melakukan restrukturisasi juga cukup satu: niat baik debitor untuk melunasi kewajibannya.

Saat itu, salah satu alasan utama OJK mengeluarkan aturan relaksasi itu adalah kondisi ekonomi sedang lesu sehingga berpotensi meningkatkan kredit bermasalah di perbankan. Kini, setelah dua tahun berlalu, peraturan itu akan segera berakir dan kondisi perekonomian sudah lebih baik.

Meski begitu, OJK belum memutuskan apakah aturan relaksasi restrukturisasi kredit tersebut akan diperpanjang atau tidak. Jalan tengah yang sedang dibahas di internal OJK adalah relaksasi tidak akan lagi diberlakukan kepada seluruh bank.

Jadi, kemudahan merestrukturisasi kredit hanya diberikan kepada bank tertentu. OJK yang akan menilai kelayakan bank yang mendapat relaksasi restrukturisasi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, OJK akan menilai kelayakan setiap bank untuk mendapatkan relaksasi restrukturisasi kredit. Jika rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) terjadi karena kondisi eksternal, seperti pelemahan ekonomi atau penurunan harga komoditas, maka bank mendapat fasilitas relaksasi restrukturisasi kredit.

Tetapi jika NPL di suatu bank terjadi karena aspek internal, seperti pengelolaan kredit yang tidak hati-hati atau mekanisme pengawasan yang tidak berjalan, maka bank tersebut tidak akan mendapat fasilitas relaksasi.

Para bankir masih berharap relaksasi restrukturisasi kredit tersebut tetap berlaku karena kondisi perekonomian belum sepenuhnya stabil. Meskipun aturan relaksasi itu sudah berhasil menekan angka kredit seret perbankan di kisaran 3%. Sampai akhir Mei lalu, rata-rata rasio NPL industri perbankan sebesar 3,09%.

Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi berharap, OJK akan memperpanjang masa berlaku aturan relaksasi restrukturisasi kredit karena kondisi ekonomi sejatinya belum kondusif. Direktur utama PT Bank Ina Perdana Edy Kuntardjo  juga berpendapat, perpanjangan aturan relaksasi masih dibutuhkan karena ada pelemahan ekonomi dan kondisi dunia usaha masih lesu.

Menurut Direktur Utama Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja, jika aturan relaksasi restrukturisasi kredit tidak diperpanjang, perbankan akan membutuhkan proses yang lebih lama untuk memperbaiki kualitas kredit yang masuk ke NPL menjadi kolektabilitas lancar.

Meski begitu, perbankan sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah antisipasi jika OJK memutuskan tidak memperpanjang aturan relaksasi restukturisasi kredit. Misalnya, dengan melakukan antisipasi dini terhadap debitor yang punya potensi bermasalah.

Selain itu, bank lebih aktif melakukan penagihan cicilan. Intinya,jangan sampai ada kredit yang kolektabilitasnya sudah masuk kategori perhatian khusus 'naik kelas' jadi kredit bermasalah atau NPL.