Meski sempat menuai pro dan kontra, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan akhirnya mendapat dukungan dari mayoritas fraksi di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengamat pajak meyakini peraturan tersebut bakal menggenjot penerimaan pajak di masa mendatang.
Perppu tersebut merupakan landasan bagi pemerintah untuk mewajibkan lembaga keuangan melaporkan secara otomatis data nasabah lokal dan asing kepada Ditjen Pajak. Adapun pelaporan data nasabah asing untuk mendukung kerja sama global pertukaran data finansial secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI) terkait pajak mulai 2018.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA ) Yustinus Prastowo meyakini Perppu tersebut dan kerja sama AEoI bisa mendukung target kenaikan rasio pajak 1% per tahun dari saat ini sebesar 10,3%. "Kalau sudah efektif berlaku, saya kira bisa (capai target)," kata dia kepada Katadata, Selasa (25/7). (Baca juga: Kecuali Gerindra, Komisi XI Setujui Perppu Keterbukaan Data Nasabah)
Keyakinan Prastowo tersebut lantaran dirinya mengacu pada pengalaman Amerika Serikat (AS) yang menerapkan Undang-Undang Kepatuhan Pajak Warga Asing atau Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) pada 2009. Pasca berlakunya undang-undang tersebut, AS melaksanakan kerja sama unilateral dengan berbagai negara yang memungkinkan pihaknya mendapatkan data keuangan warga negaranya di luar negeri.
Dalam catatannya, rasio pajak AS terus meningkat dari 23,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2009 menjadi 26,4% tahun lalu. Artinya, ada kenaikan sebesar 3% dalam tujuh tahun pemberlakuan undang-undang tersebut.
Meski begitu, Prastowo menekankan, dampak pemberlakuan Perppu dan kerja sama AEoI terhadap rasio pajak bergantung pada banyak faktor. “Prosesnya panjang karena butuh IT yang bagus," kata dia. "Kalau yang wajib pajak luar negeri tergantung pada efektivitas pertukaran, misalnya, apakah negara mitra kooperatif?"
Sebelumnya, Ditjen Pajak mencatat potensi harta wajib pajak Indonesia di luar negeri sebesar Rp 4 ribu triliun. Adapun saat program pengampunan pajak (tax amnesty) berlangsung tercatat deklarasi harta luar negeri baru sebesar Rp 1.036 triliun. Ini artinya, masih ada potensi pajak yang besar. (Baca juga: Sri Mulyani Bantah Konspirasi Perppu Buka Rekening dan Tax Amnesty)
Namun, Prastowo menekankan, data keuangan yang diperoleh Ditjen Pajak masih perlu dianalisis untuk mengetahui ada potensi pajak di dalamnya atau tidak. “Perlu dianalsisis dan diverifikasi," ucapnya. (Baca juga: DPR Minta Sri Mulyani Waspadai Amerika Jadi Surga Baru Pajak)
Pendapat senada disampaikan Peneliti Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako. Ia memprediksi dibutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga tahun untuk melihat hasil kerja sama AEoI. Alasannya, ada jeda waktu untuk melakukan analisis data. Apalagi, pemerintah juga masih harus gencar melakukan kerja sama tax treaty agar proses pertukaran data dengan negara yang lain bisa berlangsung cepat.
"Hitung-hitungan saya dua sampai tiga tahun, enggak bisa langsung dapat Rp 3 ribu triliun. Kalau Agustus sudah bisa dibuka maka Ditjen Pajak bisa periksa nama-nama itu," ujar dia. "Tapi saya yakin (rasio pajak) bisa naik satu persen per tahun," ucapnya.