Pemerintah melalui Kementerian Keuangan bertindak sigap dengan merevisi naik batasan dana rekening bank yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak menjadi Rp 1 miliar. Langkah ini dipandang untuk meredam keresahan masyarakat saat bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri.  

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai langkah pemerintah sudah tepat dengan menaikkan batas minimum saldo rekening yang dilaporkan ke pajak. Dengan begitu, kebijakan tersebut bisa meredam gejolak di masyarakat.

Apalagi, terbitnya aturan tersebut dinilai kurang tepat karena saat bulan Ramadan dan menjelang Lebaran. “Ini sudah tepat untuk meredam gejolak dan menghindari kesan meredam mid class,” kata Prastowo kepada Katadata, Rabu (7/6) malam.

(Baca: Sri Mulyani Ubah Batas Dana Wajib Lapor Pajak Jadi Rp 1 Miliar)

Ia memperkirakan, pemerintah khawatir batasan sebelumnya saldo rekening yang dilaporkan ke pajak sebesar Rp 200 juta akan memicu gejolak di masyarakat. Apalagi, waktunya dirasakan tidak tepat karena bersamaan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. “Belum lagi (kenaikan) Tarif Dasar Listrik (TDL).”

Dalam siaran pers Kementerian Keuangan, Rabu malam (7/6), pemerintah merevisi (PMK) Nomor 70/PMK.03/2017 tentang petunjuk teknis akses informasi keuangan untuk perpajakan. Batasan dana yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak dinaikkan dari total Rp 200 juta ke atas menjadi lebih Rp 1 miliar.

Keputusan revisi itu setelah pemerintah mendengar dan memperhatikan masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan, yang meminta lebih mencerminkan rasa keadilan dan keberpihakan terhadap pelaku UMKM. Selain itu, pemerintah memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakan aturan dalam PMK tersebut.

(Baca: Tahun Depan, Total Rekening Bank di Atas Rp 200 Juta Dipantau Pajak)

Dengan perubahan batasan minimum menjadi Rp 1 miliar tersebut, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan sekitar 496 ribu rekening atau cuma 0,25 persen dari total rekening di perbankan saat ini. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding jika batasan minimal yang dilaporkan Rp 200 juta, yang bisa mencapai 2,3 juta rekening atau 1,4 persen dari total rekening di perbankan.

Sebelumnya di dalam brief terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan yang diperoleh Katadata, pemerintah menetapkan batas minimum saldonya Rp 500 juta.

Di sisi lain, perbankan justru tidak keberatan dengan batasan saldo minimum Rp 200 juta yang dilaporkan ke Ditjen Pajak. Direktur Perencanaan dan Operasional Bank Negara Indonesia (BNI) Bob Tyasika Ananta tidak khawatir adanya dana yang akan keluar dari perbankan. Sebab, kebijakan ini berlaku umum bagi seluruh bank di Indonesia dan banyak negara karena terkait kerja sama pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).

Namun, dia mengakui jumlah saldo Rp 200 juta tergolong nasabah pelaku usaha kecil di BNI. “UMKM bisa juga masuk kisaran (Rp 200 juta) itu. Tetapi masing-masing bank biasanya membagi segmennya berbeda. Di BNI, itu masuk kategori kecil,” ujar dia.

(Baca: Ditjen Pajak Bidik 2,3 Juta Rekening Bank Bersaldo Minimum Rp 200 Juta)

Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) Budi Satria juga berpandangan serupa. Menurut dia, jika kebijakan ini berlaku umum semestinya tidak ada kekhawatiran nasabah menarik dananya.

Adapun, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas justru memperkirakan dana asing akan masuk dengan berlakunya AEoI pada September 2018 ini. Sebab, Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki harta di luar negeri sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menyimpan dananya di luar negeri.

“Semua orang pasti punya portofolio masing-masing. Kapan ditaruh di deposito, beli emas, pasti ada porsinya. Jadi kalau tadinya dia deposito, saya tidak yakin akan dikonversi,” katanya.