Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa memahami keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk kepentingan perpajakan. Alasannya, Perppu itu untuk kepentingan nasional dan menghindarkan Indonesia dari sejumlah kerugian.
"Pemerintah akan terus lakukan konsultasi dan pembicaraan dengan dewan, mengenai kepentingan nasional akan sangat penting dijaga bersama. Saya yakin DPR inginkan yang terbaik bagi Republik Indonesia (RI)," kata Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Kamis (18/5).
Ia menjelaskan, Perppu ini merupakan aturan utama untuk memenuhi persyaratan kerja sama pertukaran data keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) pada September 2018. Apabila aturan utama ini tidak diterbitkan hingga Juni nanti, maka Indonesia akan dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif.
Alhasil, Indonesia tidak bisa memperoleh informasi keuangan dari negara atau wilayah yurisdiksi lain. Sementara diketahui ada 139 negara yang sepakat mengikuti AEoI ini. (Baca: Perppu Data Nasabah Diprotes Pengusaha, DPR Panggil Pemerintah)
"Perppu ini ditujukan untuk menghindarkan Indonesia dalam posisi tidak memenuhi persyaratan internasional di bidang perundang-undangan untuk bisa mendapatkan hak dan dalam memenuhi kewajiban komitmen AEoI," ujar Sri Mulyani.
Dengan adanya Perppu tersebut dan kerja sama AEoI, pemerintah berharap penerimaan negara di masa depan akan membaik. Sebab, data keuangan para nasabah menjadi lebih transparan.
Apalagi, setelah pelaksanaan program pengampunan pajak (tax ammesty) diketahui ada sekitar Rp 1.000 triliun dana wajib pajak Indonesia di luar negeri. Bahkan, potensi harta yang belum terdaftar di luar negeri digadang-gadang mencapai Rp 4.000 triliun.
Melalui kerja sama AEoI ini, Ditjen Pajak memiliki peluang mengusut harta para wajib pajak di luar negeri. Ujung-ujungnya, penerimaan negara lewat pajak akan bertambah besar. (Baca: Jokowi: Ada Batasan Pembukaan Data Nasabah Bank ke Pajak)
Di sisi lain, kerugian yang diterima Indonesia jika tidak memenuhi kewajiban AEoI, yakni adanya potensi peningkatan erosi basis pajak. Sebab, negara lain bisa saling bertukar informasi, sementara Indonesia tidak.
"Perppu ini untuk jaga kepentingan nasional di level internasional, bukan hanya informasi, tapi dana ataupun aset bisa bergerak ke negara-negara di dunia sehingga bisa terjadi erosi basis pajak Indonesia,” kata Sri Mulyani.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah meneken Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk kepentingan perpajakan pada 8 Mei lalu. Dalam Perppu itu, pemerintah mewajibkan seluruh lembaga jasa keuangan membuka akses informasi keuangan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Namun, Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR Soepriyatno memperoleh informasi, para pengusaha memprotes Perppu tersebut karena khawatir data keuangannya bakal dimanfaatkan oknum untuk kepentingan-kepentingan lain. “(Dengan Perppu) ini semua data terbuka. Pengusaha kan nyaman kalau semuanya tertutup. Lagipula ada Undang-Undang Perbankan tidak boleh dibuka kan. Ini, tanpa melalui (izin) OJK bisa dibuka, menyebabkan mereka khawatir datanya bakal dimanfaatkan,” katanya kepada Katadata, Kamis (18/5).
(Baca: Pelaporan Data Nasabah Bank ke Pajak Dilakukan Melalui OJK)
Komisi Keuangan bakal meminta penjelasan mengenai maksud Perppu tersebut kepada pemerintah pekan depan. “Untuk menyamakan persepsi,” ujarnya. Komisi Keuangan juga akan memanggil berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Soepriyatno menekankan, aturan harus bisa diterima semua pihak. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran pengusaha bakal hengkang dari Tanah Air. “Pemerintah harus bijaksana, kalau (pengusaha) kabur, kita juga susah,” ujarnya.
Ia pun menegaskan, Komisi Keuangan belum tentu menyepakati Perppu itu. Meski, ia mengetahui perlu ada landasan hukum untuk menunaikan kerja sama internasional keterbukaan data keuangan secara otomatis (AEoI). “Kan bisa cukup revisi Undang-Undang Perbankan saja, tidak usah Perppu,” katanya.