Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk kepentingan perpajakan. Dirinya menekankan, Perppu bukan dimaksudkan untuk buka-bukaan. Sebab, ada batasan dan aturan yang harus diikuti oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan akses informasi yang dimaksud.
“Itu hanya dipakai untuk kepentingan-kepentingan yang memang diperlukan. Tidak untuk buka-bukaan juga tidak. Ada batasan-batasan. Ada aturan-aturan yang harus diikuti,” kata Jokowi di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/5).
Ia pun menilai masyarakat tidak perlu kaget dengan Perppu tersebut, sebab seluruh dunia memang akan memberlakukan aturan yang sama. “Dan itu sudah saya sampaikan berkali-kali. Hati-hati bahwa tahun 2018 semuanya nanti akan bisa terbuka,” ujarnya. (Baca juga: Tak Pandang Bulu, Data Nasabah Lokal dan Asing Wajib Disetor ke Pajak)
Jokowi dan para pejabat pemerintah memang sudah berulangkali menyampaikan bahwa Perppu tersebut dibuat untuk melaksanakan komitmen kerja sama internasional pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak pada tahun depan.
Mengacu pada data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sebanyak 50 negara atau yurisdiksi mulai melaksanakan AEoI, tahun ini. Adapun, Indonesia termasuk dalam 50 negara lainnya yang bakal melaksanakan AEoI pada tahun depan.
Jokowi mengatakan, negara lainnya tengah menunggu komitmen Indonesia untuk melaksanakan kebijakan serupa, maka itu diterbitkan Perppu sebagai landasan hukum. Adapun, Perppu tersebut diakui Jokowi sudah dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi undang-undang. (Baca juga: Pemerintah Harap DPR Restui Perppu Keterbukaan Data Nasabah Bank)
Mengacu pada Perppu anyar tersebut, perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya wajib melaporkan data keuangan nasabah kepada Direktorat Jenderal pajak (Ditjen Pajak). Data yang wajib dilaporkan di antaranya identitas pemegang rekening keuangan; nomor rekening keuangan; identitas lembaga jasa keuangan; saldo atau nilai rekening keuangan; dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Di luar itu, lembaga jasa keuangan juga wajib memberikan data tambahan berupa informasi, bukti, atau keterangan bila diminta oleh Direktur Jenderal Pajak. Nantinya, seluruh data keuangan yang diperoleh bakal digunakan sebagai basis data perpajakan oleh Ditjen Pajak.
Secara rinci, Lembaga jasa keuangan yang diwajibkan melapor, yaitu perbankan, perasuransian, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. (Baca juga: Kejar Penghindar Pajak, Ditjen Pajak Sinkronkan Beragam Data)
Bila lembaga jasa keuangan tidak patuh terhadap ketentuan Perppu, maka terancam denda paling banyak Rp 1 miliar. Adapun, pimpinan ataupun pegawai lembaga jasa keuangan yang tidak memberikan data yang sebenarnya terancam pidana kurungan paling lama setahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.