Layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi atau financial technology (fintech) tengah naik daun. Chief Executive Officer (CEO) PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro memprediksi modal ventura (venture capital) ke Indonesia akan mengalir semakin deras ke sektor tersebut.
Alasannya, para investor melihat Indonesia memiliki pasar yang besar. Sementara itu, terdapat ketimpangan antara penetrasi perbankan tradisional ke pelosok daerah yang masih rendah dengan tingginya penetrasi penggunaan ponsel pintar di masyarakat.
(Baca: OJK Batasi Nilai Kredit Lewat Fintech Maksimal Rp 2 Miliar)
Alhasil, Eddi memperkirakan, sekitar 80 persen modal ventura akan masuk ke layanan fintech. “Saya pikir lanskap venture capital ke depan 80 persen akan ke fintech. Itu karena kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia atau Jakarta sangat tinggi. Semua data menunjukkan, saatnya harus beralih dari bank tradisional ke mobile banking,” katanya dalam AVJC 6th Annual Private Equity & Venture Forum di Jakarta, Kamis (27/4).
Ia mengatakan, Mandiri Capital Indonesia selaku perusahaan modal ventura yang dimiliki Bank Mandiri melihat peluang dari rendahnya penetrasi perbankan di Indonesia tersebut. Rendahnya penetrasi tersebut terutama untuk pembiayaan ke kelompok-kelompok atau peer to peer (P2P) lending UMKM di pelosok daerah.
Salah satunya adalah pendanaan untuk perusahaan perintis startup fintech Amartha. Sebagai pemimpin konsorsium, Mandiri Capital Indonesia menggandeng Lynx Asia Partners, Beenext, dan Midplaza Holding, telah mengucurkan dana sekitar US$ 2-5 juta atau Rp 26,6 miliar – Rp 66,6 miliar kepada Amartha.
(Baca: OJK Bentuk Satgas Pengawas Fintech Pinjam-Meminjam Uang)
Sebagai gambaran, International Finance Corporation (IFC) pada tahun 2013 mencatat, Indonesia memiliki 55 juta usaha mikro yang mayoritas tidak memiliki akses ke layanan keuangan. Padahal, 55 juta usaha mikro itu menyerap sekitar 90 persen angkatan kerja di Indonesia.
Transaksi fintech Indonesia pada tahun ini diperkirakan mencapai US$ 18,6 miliar atau setara Rp 247,65 triliun. Jumlahnya meningkat 24 persen dari perkiraan tahun lalu yakni sebesar US$ 15 miliar. Ke depan, transaksi fintech di Indonesia akan mencapai US$ 37,15 miliar atau sekitar Rp 494 triliun.
Eddi menilai, pemerintah saat ini cukup gesit dalam merespons perkembangan bisnis perbankan. Buktinya, pada akhir tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan aturan main terkait layanan fintech lewat POJK 77/2016. (Baca: Kantor Cabang Sepi, Bank Kucurkan Dana buat Layanan Digital)
Ke depan, dia berharap pemerintah dapat terus mengejar perkembangan layanan keuangan berbasiskan teknologi digital. “Regulasi sudah diregulasi. Kami investasi di digital company karena yakin regulator di masa depan akan mampu mengakomodasinya,” katanya.
Peneliti Indef, Bhima Yudistria, mengatakan total kebutuhan pembiayaan di Indonesia sebesar Rp 1,65 kuadriliun. Sedangkan yang bisa dikucurkan oleh perbankan hanya Rp 660 triliun. Alhasil, masih ada kekurangan pembiayaan sebesar Rp 990 triliun yang dapat disalurkan melalui layanan fintech.
Saat ini, terdapat 11 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang layak mendapat pendanaan dari bank (bankable). Sementara 49 juta UMKM masih unbankable. Banyaknya UMKM yang belum tersentuh perbankan lantaran kondisi geografis membuat potensi fintech Indonesia masih akan terus berkembang.