Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis tiga aturan turunan dari Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Aturan tersebut mengatur soal penanganan bank sistemik bila mengalami permasalahan solvabilitas alias tidak mampu membayar kewajibannya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Haddad memaparkan, saat ini, ada 12 bank yang masuk kategori sistemik. Adapun, bank sistemik adalah bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Bank ditetapkan sistemik dengan mempertimbangkan ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau kompleksitas transaksi, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain.
(Baca juga: Bank Permata Terbebani Kredit Macet Garansindo Rp 1,2 Triliun)
Muliaman menjelaskan, tiga aturan terkait penanganan bank sistemik yang baru saja dirilis yaitu, pertama Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2017 mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum. Aturan ini sesuai amanat Pasal 21 UU PPKSK yang mewajibkan OJK merumuskan kebijakan untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank berdampak sistemik.
Selanjutnya, POJK Nomor 15 Tahun 2017 mengenai rencana aksi (recovery plan) bagi bank berdampak sistemik. Aturan ini sesuai amanat Pasal 19 UU PPKSK, yang meminta OJK membuat detil terkait langkah penyehatan bank. Terakhir, POJK Nomor 16 Tahun 2017 mengenai bank perantara yang merupakan amanat dari pasal 22 UU PPKSK.
Menurut Muliaman, ketiga aturan tersebut diterbitkan pada 4 April 2017 dan langsung berlaku. “Karena berdasarkan UU PPKSK itu, setahun setelah (UU PPKSK) diundangkan semua aturan pelaksana sudah harus siap. Berarti terakhir 14 April ini,” kata Muliaman di kantornya, Jakarta, Rabu (5/4). (Baca juga: Delapan Aturan Bank Sistemik Segera Diluncurkan)
Sejauh ini, berdasarkan pantauannya, kondisi industri perbankan masih dalam kondisi yang aman. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR), misalnya, masih di posisi 23,18 persen per Februari 2017. Rasio profitabilitas seperti return on aset (ROA) dan return on equity (ROE) masih di atas dua persen. Pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) pun masih yang tertinggi di ASEAN yakni 5,28 persen.
Tak hanya itu, Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) membaik dari 83,94 persen menjadi 81,69 persen. Rasio pinjaman terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) pun masih di bawah batas 92 persen, yaitu hanya 89,12 persen. Kondisi yang kurang stabil hanya rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,16 persen secara gross dan 1,32 persen nett. Sementara OJK mematok batas maksimum NPL nett yakni lima persen.
(Baca juga: OJK Catat Rasio Kredit Seret 22 Bank di Atas Aturan 5 Persen)
“Pengamatan saya, fundamental perbankan masih on the track seperti likuiditas, CAR, dan kredit,” ujar Muliaman. Meski begitu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengakui, pertumbuhan kredit masih di bawah 10 persen hingga Februari 2017. Adapun, target dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun ini sebesar 9-12 persen.
Akan tetapi, Nelson yakin, bila melihat kondisi saat ini, kredit bisa tumbuh double digit pada Semester II-2017. Di sisi lain, dana nasabah alias dana pihak ketiga (DPK) tercatat sudah tumbuh 9,21 persen. Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berlangsung hingga Maret disebut-sebut juga turut menambah DPK perbankan.
Sejauh ini, ia pun menyebut belum ada bank yang masuk dalam pengawasan intensif. “Semuanya dalam kondisi normal,” kata dia. Dengan kata lain, belum ada kondisi yang bisa menimbulkan persoalan di industri jasa keuangan yang berdampak sistemik.