Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan akan membatalkan aturan yang mewajibkan bank untuk menyetor data transaksi kartu kredit. Alasannya, transaksi kartu kredit merupakan utang yang tidak mencerminkan penghasilan. Sehingga, tidak akurat untuk dijadikan data pembanding dalam memungut pajak.

Ken mengaku dirinya sudah mengeluarkan surat edaran agar bank tak lagi mengirimkan data transaksi kartu kredit ke instansinya. Padahal, siang tadi, ia mengatakan kebijakan ini hanya ditunda sementara waktu. Dengan alasan, Ditjen Pajak ingin fokus menganalisis data yang sudah didapat dari program pengampunan pajak (tax amnesty). (Baca juga: Masih Fokus Tax Amnesty, Wajib Lapor Data Kartu Kredit Ditunda)

“Kenapa saya enggak tertarik data kartu kredit, karena itu utang. Kan ada plafonnya, misalnya beli barang Rp 50 juta. Memang gaji saya Rp 50 juta? Kan enggak juga. Jadi utang, bukan penghasilan,” kata Ken sebelum meresmikan Kantor Wajib Pajak Besar di Jakarta, Jumat (31/3).

Ia mengakui, belum ada revisi atau pencabutan atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur soal kewajiban bank menyetor data transaksi kartu kredit. Namun, ia mengklaim sudah berbicara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait hal ini.

"Nanti Menkeu yang bilang (PMK akan dicabut atau tidak). Saya sudah bilang (ke Menkeu) semalam melalui whatsapp (terkait pembatalan aturan ini)," kata Ken. PMK yang dimaksud yaitu PMK Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan pajak.

Ia membatah pembatalan aturan tersebut lantaran adanya keberatan dari perbankan dan penyelenggara kartu kredit. Dia juga menegaskan bahwa kebijakannya ini tidak bermaksud menentang Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak sebelumnya yang menerbitkan aturan ini. Hanya saja, data transaksi kartu kredit dinilainya tak bisa dijadikan pembanding untuk intensifikasi.

“Karena enggak akurat (menggambarkan penghasilan), bikin masalah malah nanti,” ujarnya. Menurut dia, alasan tersebut jugalah yang mendasari keputusannya untuk menunda pemberlakukan aturan tersebut tahun lalu.

Lagipula, data mengenai nasabah akan segera diperoleh Ditjen Pajak setelah Indonesia melaksanakan kerja sama global: pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak. "Nanti data pembandingnya dari AEoI. Kan mudah itu (dapat datanya)," tutur Ken.

Dengan pembatalan ini, ia berharap tidak ada lagi keresahan dari masyarakat. Ia juga meminta masyarakat tidak resah dengan AEoI sepanjang sudah membayar pajak dengan benar. Dengan kebijakannya ini, ia berharap masyarakat berbelanja dengan nyaman sehingga penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga bisa meningkat.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon mengakui kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit kepada Ditjen Pajak dapat menurunkan transaksi nontunai. “Pengaruh ke psikologi, ini dampaknya transaksi nontunai ke depan bisa menurun. Padahal, ada target pemerintah untuk mendorong transaksi nontunai,” kata Nelson saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (29/3).

(Baca juga: OJK Ramal Penjualan Ritel Turun Akibat Wajib Lapor Data Kartu Kredit)

Dalam jangka menengah-panjang, Nelson juga melihat adanya kemungkinan kebijakan tersebut berdampak pada penjualan ritel. Sebab, selama ini, banyak pelanggan ritel yang bertransaksi menggunakan kartu kredit. Bila penjualan ritel menurun maka rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di sektor tersebut juga bisa meningkat.

Meski demikian, ia mengungkapkan, kebijakan tersebut tak terelakkan seiring dengan tren global keterbukaan informasi. Apalagi, pemerintah juga tengah mengkaji Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memanyungi kebijakan membuka data nasabah perbankan atau industri keuangan lainnya. Pemerintah juga berencana merevisi sejumlah Undang-Undang guna mendukung hal itu.