Manajemen Bank Permata melakukan berbagai upaya untuk menekan tumpukan kredit seret (Non-Performing Loan)  yang membebani keuangan perusahaan. Salah satu upayanya adalah melikuidasi agunan kredit tersebut sejak tahun lalu dan akan terus dilakukan tahun ini. 

Head Corporate Affairs Bank Permata Richele Maramis menyatakan, pihaknya terus melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengelola kualitas aset bank, di antaranya melalui proses restrukturisasi dan rehabilitasi kredit tersebut. "Selain itu mulai berjalannya proses likuidasi dan tindakan hukum terhadap sebagian dari portofolio NPL Bank," katanya kepada Katadata, Jumat (24/3) pekan lalu.

Namun, dia tidak menjelaskan lebih detail perihal proses likuidasi agunan dan tindakan hukum yang ditempuh untuk menyelesaikan kredit seret tersebut. Jika mengacu  laporan keuangan konsolidasi Bank Permata tahun 2016, bank ini sudah melakukan eksekusi jaminan sejak tahun lalu. Tercatat, bank swasta ini memperoleh laba penjualan agunan diambil alih (bersih) sebesar Rp 3,6 triliun, dari tahun sebelumnya yang tidak ada sama sekali.

(Baca juga: Bank Permata Terbebani Kredit Macet Garansindo Rp 1,2 Triliun)

Selain  itu, per Desember 2016, Bank Permata mengidentifikasi portofolio kredit sejumlah Rp 9 triliun yang terkait dengan eksposur-eksposur di luar toleransi risiko yang diperketat. Selanjutnya, bank berencana melikuidasi portofolio ini secara bertahap.

"Saat ini, proses likuidasi masih berlangsung. PermataBank berharap melikuidasi portofolio ini secara bertahap sepanjang tahun dengan harapan penurunan rasio NPL bruto secara bertahap," tulis manajemen Bank Permata dalam laporan keuangannya. Proses restrukturisasi dan penjualan aset untuk memperbaiki rasio NPL ini ditargetkan hingga 30 April mendatang.

Manajemen Bank Permata mengakui kondisi makroekonomi yang memburuk sebagai penyebab lonjakan NPL. Peningkatan NPL terjadi hampir di semua sektor ekonomi. Namun, kenaikan paling signifikan terjadi di sektor industri pengolahan, pertambangan dan transportasi.

Rasio NPL  bank swasta milik Grup Astra dan Standard Chartered Bank ini tercatat mencapai 8,8 persen pada 2016. Rasio tersebut naik lebih dari tiga kali lipat dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,74 persen.

Alhasil, sepanjang tahun lalu Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) alias provisi pada 2016 mencapai Rp 11,59 triliun. Jumlahnya melompat dibandingkan tahun sebelumnya yang sekitar Rp 3 triliun. Tiga sektor ekonomi yang membukukan provisi terbesar adalah industri pengolahan mencapai Rp 4,7 triliun, transportasi Rp 2,22 triliun dan pertambangan Rp 1,85 triliun.

Salah satu kredit macet yang tengah serius ditangani Bank Permata diketahui milik Grup Garansindo. Sumber Katadata menyebut perusahaan otomotif yang dikenal sebagai agen pemegang merek (APM) mobil dan motor mewah tersebut memiliki tunggakan kredit sebesar Rp 1,24 triliun. 

Manajemen Garansindo masih bungkam perihal kabar kredit macetnya di Bank Permata. Managing Director Garansindo, Dhani Yahya, mengaku tidak berwenang menjelaskan persoalan tersebut. “Tidak bisa komen (komentar) di luar kewenangan saya. Tidak bisa memberi statement (pernyataan) mengenai kredit,” katanya, pekan lalu.

Ia pun meminta Katadata mengirimkan pertanyaaan via surat elektronik untuk diteruskan kepada pejabat yang berwenang. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada balasan dari Garansindo.

Di kalangan pelaku industri otomotif, perusahaan ini dikenal sebagai importir dan agen pemegang merek (APM) mobil dan motor kelas atas asal Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa di antaranya, yaitu Fiat, Alfa Romeo, Chrysler, Jeep, dan Dodge. Selain itu, kendaraan roda dua Ducati, Italjet, dan Peugeot Scooters.

Perusahaan ini diketahui membentuk perusahaan induk yaitu Garansindo Global Corpora dua tahun lalu. Perusahaan induk ini menaungi antara lain PT Garansindo Inter Global, PT Plaza Garansindo dan PT Garansindo Automobile.

Pada medio 2015, seperti dikutip dari detikoto.com, beberapa nama mentereng menghiasi jajaran komisaris Garansindo Global Corpora. Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris menjadi Komisaris Utama, Ketua Umum Partai Hanura dan saat ini Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjabat Wakil Komisaris Utama.

Ada pula mantan jenderal polisi Anton Bachrul Alam dan mantan pejabat Kementerian Perindustrian sebagai komisaris perusahaan tersebut.

Ketika ditanyakan soal ini, manajemen Bank Permata tidak bersedia menjelaskan perkembangan atas penanganan kredit macet Garansindo. “Kami tidak dapat memberi informasi lebih lanjut saat ini, karena terikat kerahasiaan nasabah seperti layaknya transaksi dan proses antarnasabah dan bank,” ujar Richele.

Yang menarik, pada 10 Maret lalu, Bank Permata mengumumkan telah menjual portofolio kredit macet kepada perusahaan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) bernama CVI CVF III LUX Master SARL. Nilai transaksi jual-beli tersebut sebesar Rp 1,12 triliun.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Wakil Direktur Keuangan Bank Permata Julian Loong Choon Fong kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, perusahaan SPV itu tidak terkait dengan Bank Permata. Tujuan penjualannya untuk memperbaiki kualitas kredit bank.

Sumber Katadata yang lama berkecimpung di bidang perbankan menyebut langkah Bank Permata tersebut sebagai sekuritisasi aset. “Biasa dipakai oleh bank-bank lainnya,” ujarnya. Bila betul demikian, maka dari transaksi tersebut, Bank Permata memegang surat utang dari SPV.

Meski begitu, tak menutup kemungkinan juga Bank Permata menerima pembayaran tunai bila skemanya bukan sekuritisasi aset melainkan penjualan hak tagih. Dengan skema ini, bila nilai penjualan di bawah nilai kredit, bank langsung membukukan kerugian tanpa harus melakukan provisi (pencadangan). “Pendapatannya cash,” kata sumber lainnya.

Di sisi lain, Ketua OJK Muliaman Haddad menerangkan bahwa penjualan tagihan kredit macet kepada pihak lain tak melanggar aturan. “Skema semacam itu boleh saja,” ujarnya di Jakarta, Rabu (22/3) pekan lalu. Namun, ia enggan membahas saat disinggung secara khusus mengenai Bank Permata dan Garansindo. “Kalau per individu, saya tidak tahu."