Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dana repatriasi program pengampunan pajak (tax amnesty) yang masuk ke pasar modal baru mencapai Rp 2,5 triliun. Padahal, berdasarkan hitungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dana repatriasi yang telah masuk ke Tanah Air mencapai Rp 112,2 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menjelaskan, mayoritas dana repatriasi masih tersimpan di perbankan dalam bentuk giro dan deposito. Adapun dana repatriasi yang masuk ke pasar modal kebanyakan diinvestasikan dalam saham dan sisanya dalam reksadana pendapatan tetap (RDPT) serta surat utang korporasi.
“Yang paling banyak kelihatannya di saham. Ada yang mereka ambil dari secondary market,” kata Nurhaida usai Analyst Meeting di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/1). (Baca juga: Dana Repatriasi Jadi Rebutan, Bank Naikkan Bunga)
Untuk menarik minat pemilik dana repatriasi terhadap investasi di pasar modal, Nurhaida mengungkapkan, instansinya fokus pada pendalaman pasar dengan memperbanyak produk investasi. Selain itu, pihaknya juga terus memperbaiki keamanan dan kemudahan investasi di pasar modal.
Sebelumnya, Nurhaida mengungkapkan, banyak pemilik dana repatriasi yang berminat menempatkan dananya di instrumen pasar modal berupa Surat Berharga Negara (SBN). Selain karena imbal hasil (yield) yang tinggi, instrumen investasi ini juga dinilai aman. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual bahkan menyebut hampir 50 persen dana repatriasi mengalir ke SBN.
Adapun total dana repatriasi yang telah masuk sebesar Rp 112,2 triliun tercatat lebih rendah dibanding komitmen yang sebesar Rp 141 triliun. Ini artinya masih kurang Rp 29 triliun dari komitmen. (Baca juga: Ditjen Pajak Usut Menguapnya Komitmen Repatriasi Rp 29 Triliun)
Menanggapi kekurangan tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya akan mengecek ke bank yang menjadi gateway alias pintu gerbang masuknya dana repatriasi. “Atas data ini kami akan kembali meminta klarifikasi ke masing-masing bank gateway untuk memastikan kebenarannya,” katanya, Selasa (10/1).
Menurut Yoga, selisih Rp 29 triliun yang ditemukan DJP bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, perbedaan perlakuan atas dana yang masuk ke Indonesia antara 1 Januari–30 Juni 2016. Sebab, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/2016, dana yang masuk pada periode tersebut bisa diperlakukan sebagai repatriasi ataupun deklarasi dalam negeri. Kedua, wajib pajak membatalkan komitmen repatriasi karena kesulitan membawa masuk dananya ke dalam negeri.