Pasar Labil, Pemerintah Tersandera Ijon Utang Rp 40 Triliun

Arief Kamaludin|KATADATA
12/11/2016, 09.00 WIB

Pemerintah tetap harus mencari utang lebih awal (pre-funding) dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) meski kondisi pasar obligasi tengah bergejolak. Tujuannya untuk memenuhi anggaran belanja di Januari 2017. Sebab, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tersendat jika langkah itu tak diambil pemerintah.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan, pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali pre-funding, meski kupon SBN pasti naik. “Kalau tidak dari mana bayar bayar untuk Januari,” kata Lana kepada Katadata, Jumat (11/11). (Baca juga: Pemegang Obligasi Panik, Rupiah Anjlok ke 13.800 per Dolar)

Sebagai informasi, pemerintah berencana menerbitkan SBN senilai Rp 40 triliunan di akhir tahun ini untuk membiayai kebutuhan belanja sepanjang Januari 2017. Saat ini, pemerintah masih mengkaji opsi penerbitan SBN tersebut, yaitu di pasar domestik atau di pasar global.

Lana usul, pemerintah menerbitkan SBN di pasar global saja daripada di pasar domestik. Sebab, surat utang dalam dolar Amerika Serikat lebih diminati investor. Selain itu, “Untuk support cadev (cadangan devisa),” kata dia.

Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia, David Sumual lebih menyoroti soal likuiditas pasar. Menurutnya, likuiditas di pasar domestik sedang agak ketat. “Akhir tahun saya pikir membaik,” ucapnya.

Namun, kalau nilai SBN yang akan diterbitkan cuma sekitar Rp 40 triliun, maka tidak masalah. Apalagi, fundamental ekonomi Indonesia juga membaik. “Tergantung size-nya,” kata dia. Senada dengan Lana, David juga melihat lebih baik menerbitkan obligasi di pasar global sehingga tidak mengganggu likuiditas dana di dalam negeri.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pre-funding dilakukan agar pelaksanaan APBN 2017 berjalan tepat waktu. Strategi ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Jadi, seluruh kegiatan bisa langsung diimplementasikan tanpa perlu menunggu proses Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan procurement.

Meski begitu, dia menjelaskan, pemerintah akan tetap melakukan evaluasi kondisi pasar sebelum menerbitkan SBN. “Opsi dari sisi peluang di pasar global atau domestik merupakan pilihan yang terus (dikaji) bagi kami untuk pre funding, danai kebutuhan 2017,” kata Sri Mulyani di kantornya, Kamis malam (10/11).

Ia ingin memastikan, penerbitan SBN di pasar domestik baik melalui lelang atau private placement, tidak akan mengganggu likuiditas. “Kami sudah koordinasi (dengan Bank Indonesia) maka likuditas mencukupi. Jadi ada peluang (menerbitkan SBN di dalam negeri),” katanya.

Sekadar informasi, private placement adalah penempatan modal melalui pembelian aset atau sekuritas yang dilakukan secara negosiasi. Untuk itu, sosialisasi pun akan segera dilakukan agar pemilik dana bisa merencanakan penempatan dana pada Kuartal IV. 

Sedangkan untuk opsi penerbitan SBN di pasar global, Sri Mulyani akan memantau perkembangan politik di Amerika Serikat (AS), terutama atas kemenangan Donald Trump sebagai presiden. Dia akan memperhatikan retorika politik Trump guna mengidentifikasi kebijakan yang mungkin diambil dan dampaknya terhadap Indonesia. Termasuk, pandangan Trump terhadap kebijakan perdagangan internasional mengingat AS merupakan pangsa pasar besar di dunia.

(Baca juga: Cemas Kebijakan Trump, Rupiah dan Mata Uang Asia Berguguran)

Selain itu, Sri Mulyani akan memperhatikan kebijakan terkait investasi, keamanan, dan militer. Kebijakan-kebijakan tersebut juga akan mempengaruhi Eropa, Jepang, dan Korea Selatan.

Perlu diperhatikan pula, pengaruhnya terhadap kebijakan bank sentral AS, The Fed terkait moneter. Sebab keputusan The Fed tidak hanya berpengaruh terhadap AS, melainkan seluruh dunia. “Kami pantau dan kami buat policy agar Indonesia tidak rawan dalam situasi perkembangan pasar terutama di AS,” ujar dia. (Baca juga: Darmin Lihat Kebijakan Proteksionisme Trump Retorika Belaka)

Sri Mulyani menjelaskan, kebutuhan pendanaan pada Januari mencapai Rp 116 triliun. Pembiayaan itu terdiri atas pembayaran gaji pegawai, transfer Dana Alokasi Umum (DAU), pembayaran DAU yang tertunda, dan belanja yang dijadwalkan pada Januari. Kebutuhan ini akan dipenuhi melalui sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA), pre-funding, dan penerimaan negara. Karena itu, diupayakan penerimaan perpajakan hingga akhir tahun cukup untuk mendanai kebutuhan di awal 2017.

Direktur Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan memperkirakan, besaran SBN yang diterbitkan untuk pre-funding senilai Rp 40 triliun. Sedangkan penerimaan dari pajak di awal tahun biasanya mencapai Rp 80 triliun, sehingga dharapkan bisa membantu memenuhi kebutuhan pembiayaan. “Ya mungkin Rp 40 triliun lah,” kata Robert.

(Baca juga: Enam Sasaran Pembangunan Infrastruktur dalam APBN 2017)

Menanggapi rencana tersebut, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memastikan bahwa likuiditas dalam negeri aman. Sebab, dana dari bank komersial yang terparkir di BI, misalnya, mencapai Rp 330 triliun-Rp 350 triliun. Padahal, tahun lalu di bawah Rp 200 triliun.

Adapun terkait kondisi pasar di AS, ia memastikan akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kami sudah bicara rencana pre-funding. Kalau Kementerian Keuangan masuk pasar global atau domestik, kami siap merespons dan menjaga likuiditas,” kata Agus.