Bank Indonesia mencatat penyaluran kredit modal kerja dan investasi masih seret. Namun penyaluran kredit berpeluang membesar setelah pelaku usaha mengikuti program pengampunan pajak alias tax amnesty. Bank sentral meyakini kepercayaan dunia usaha bakal meningkat.
Data kredit Agustus menunjukkan penyaluran kredit modal kerja dan kredit investasi cuma tumbuh 4,5 dan 9,5 persen secara tahunan. Pertumbuhan melambat dibanding Juli lalu yang sebesar 5,8 dan 10,4 persen. (Baca juga: Penyaluran Kredit Agustus Makin Seret, Peredaran Uang Menyusut).
Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan semestinya keyakinan dunia usaha untuk berinvestasi akan meningkat setelah pelaksanaan tax amnesty. Sebab, “Dunia usaha bisa lebih merencanakan mau ambil kredit atau pakai uang sendiri. Sudah deklarasi (harta) dalam negeri dan luar negeri, jadi mereka sudah bisa menghitung,” kata Mirza di Komplek BI, Jakarta, Jumat, 7 Oktober 2016.
Terlebih lagi, Mirza melihat peningkatan pada konsumsi rumah tangga. Permintaan dari rumah tangga diharapkan bakal mendorong korporasi untuk berinvestasi. Apalagi permintaan ekonomi terbesar memang berasal dari rumah tangga. Porsinya sekitar 60 persen dari total permintaan.
Konsumsi rumah tangga juga diyakini Mirza bakal meningkat seiring dengan naiknya penghasilan masyarakat di wilayah Kalimantan atau Sumatera. Sebab, harga beberapa komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara yang menjadi sumber pendapatan daerah-daerah tersebut mulai pulih. “Kalau demand sudah naik dan dunia usaha lebih confident, mereka datang ke bank,” ucapnya.
Mirza mengakui perbankan tengah sibuk melakukan restrukturisasi kredit bermasalah sehingga belum terlalu agresif menyalurkan kredit. Namun, bila permintaan kredit menguat dan likuiditas di pasar baik, ia yakin bank akan merespons. (Baca: Tax Amnesty Bisa Kerek Peringkat Indonesia ke Layak Investasi).
Hingga saat ini, pertumbuhan kredit secara keseluruhan hanya sebesar enam sampai tujuh persen dibanding tahun lalu. Bahkan bila dihitung sejak awal tahun hanya tumbuh 2,8 persen. Kendati begitu, BI menganggap hal ini wajar. Penyaluran bakal mulai meningkat pada kuartal pertama 2017.
Sebelumnya, Mirza menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit yang rendah menyebabkan meningkatnya rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL). Setelah harga komoditas jatuh, kurs mata uang bergejolak, lalu diikuti dengan kenaikan NPL. Ia mencatat NPL hanya 1,4 - 1,5 persen pada 2012. Lalu, perlahan meningkat hingga sekitar tiga persen tahun ini. (Baca juga: Tekan Kredit Bermasalah, OJK Perketat Pengawasan Bank).
“Saat kurs goyang terus, importir ataupun pengusaha tidak bisa merencanakan kegiatan. Sekarang orang sudah bisa impor dan ekspansi, tapi memang belum sesuai harapan,” kata Mirza. “Kalau situasi ini aman terus, seharusnya kredit tumbuh lagi enam bulan mendatang. Itu siklus bisnis perbankan yang normal,” kata dia.
Adapun Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung ragu kredit bakal tumbuh signifikan seiring dengan pelonggaran moneter yang dilakukan BI. Penyebabnya, perusahaan enggan investasi mengingat permintaan minim. Selain itu, bank berhati-hati menyalurkan kredit karena NPL yang meningkat. (Baca juga: Imbas Ekonomi Dunia, Kredit Bermasalah Naik Jadi 3,2 Persen).
Sebagai informasi, sepanjang tahun ini, BI sudah beberapa kali memangkas suku bunga acuan hingga di level lima persen. Harapannya, biaya kredit turun sehingga mendorong permintaan kredit. Sejauh ini, suku bunga deposito tercatat sudah turun satu persen meski suku bunga kredit baru berkurang 0,52 persen. Perhitungannya, bunga perbankan akan mengikuti 100 persen penurunan suku bunga acuan pada semester satu 2017. “Biasanya nanti 1,5 tahun, dia (bunga bank) akan fully adjust sesuai penurunan suku bunga,” tutur Juda.
Yang menarik, saat perbankan mulai menahan penyaluran kredit, penyaluran pinjaman dari industri keuangan nonbank (IKNB) justru meningkat. Hingga Agustus, pembiayaan nonbank mencapai Rp 128,3 triliun, lebih tinggi dibanding tahun lalu Rp 58 triliun. “Ada semacam proses pergeseran sumber pembiayaan dari bank —yang berhati-hati— ke nonbank instrument,” ujar Juda.