Bank Indonesia (BI) memproyeksi belanja pemerintah bakal tambah seret jelang akhir tahun lantaran penerimaan negara tak sesuai harapan. Kondisi ini masih ditambah investasi swasta dan daya beli masyarakat yang lemah. Sehingga diramalkan cuma mampu memacu ekonomi tumbuh di level 5 persen tahun ini, lebih rendah dari target 5,2 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menjelaskan belanja pemerintah mulai menunjukkan penurunan pada Juli lalu. Angkanya lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, pada bulan-bulan sebelumnya melebihi tahun lalu. Juda memperkirakan, belanja ini bakal tambah seret pada Desember nanti.

"Fiskal memang sedang konsolidasi karena revenue tidak sekuat yang diperkirakan. Mau tidak mau pemerintah harus konsolidasi untuk amankan fiskal," kata Juda dalam seminar bertajuk 'Seberapa Jauh Dampak Paket Kebijakan?' di Gedung BI, Jakarta, Kamis (6/10).

Sebagai informasi, lantaran penerimaan negara yang seret, pemerintah memproyeksi, defisit anggaran bakal membengkak dari asumsi. Semula pemerintah memperkirakan defisitnya Rp 296,7 triliun atau 2,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), tapi kemungkinan naik hingga Rp 335,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB. Pembengkakan defisit tak bisa terelakkan meski Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memangkas anggaran sebesar 137 triliun. (Baca juga: Defisit Bertambah, Pemerintah Siapkan Obligasi Rp 39 Triliun)

Lebih jauh, Juda menjelaskan motor penggerak ekonomi lainnya yaitu investasi swasta juga terpantau masih terbatas. Hal ini terlihat dari jumlah Utang Luar Negeri (ULN) korporasi yang menurun cukup besar dibanding 2013. Kondisi ini tak hanya terjadi di Tanah Air, tapi juga di negara-negara Asia lainnya, kecuali Filipina. Untungnya, Indonesia tertolong investasi infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Sehingga investasi swasta mampu tumbuh sekitar lima sampai enam persen, lebih tinggi dibanding negara lain yang hanya satu sampai dua persen.

Daya beli masyarakat yang menjadi penyokong utama ekonomi juga masih lemah. Meski begitu, BI melihat sudah ada tanda-tanda perbaikan, berupa penjualan kendaraan bermotor yang membaik pada Juli dan Agustus. Adapun dampak pemangkasan suku bunga acuan oleh BI sebesar 1,25 persen sepanjang tahun ini, diramal baru akan terasa pada Semester I 2017.

Meski motor-motor pendorong perekonomian tersebut belum mampu memacu ekonomi tumbuh lebih tinggi, namun ada tiga faktor yang cukup membantu ekonomi. Pertama,  masuknya dana asing (repatriasi) terkait program  pengampunan pajak (tax amnesty) sebesar Rp 137 triliun per September, yang akan menambah likuiditas di pasar. Perkiraan BI, repatriasi bisa mencapai Rp 180 triliun sampai Rp 200 triliun hingga akhir tahun. Dengan begitu, rasio Dana Pihak Ketiga (DPK) diperkirakan mencapai 1,5-1,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kedua, peningkatan basis pajak (tax based) imbas dari pelaksanaan amnesti pajak yang diperkirakan mampu menambah 20 ribuan wajib pajak baru. Tambahan jumlah wajib pajak bisa turut mendorong penerimaan pajak di masa depan. Harta yang diungkap atau dideklarasikan peserta tax amnesty sebesar Rp 3.600 triliun juga bisa menjadi sumber pajak. Alhasil, ruang fiskal (fiskal space) akan lebih baik pada 2017.

Ketiga, tren inflasi rendah yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan. Tahun ini, BI memperkirakan inflasi berkisar 3,1-3,2 persen. Tahun depan diprediksi bisa lebih rendah dan stabil, meski ada risiko naik akibat rencana pemerintah mengurangi jumlah pelanggan penerima subsidi untuk pelanggan 900 volt ampere (VA). Dampak kenaikan TDL pada inflasi diperkirakan mencapai 0,9 persen.

"Kami perkirakan ekonomi tahun ini hanya lima persen, inflasi 3,1-3,2 persen. Sedangkan 2017 bisa tumbuh 5,1-5,5 persen, tapi rangenya lebih ke 5,1-5,2 persen," tutur Juda. (Baca juga: Bank Dunia Minta Indonesia Tak Lagi Andalkan Ekspor Komoditas)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengakui sulit mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen sesuai asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi pada paruh pertama masih lemah. Sedangkan pada paruh kedua, pertumbuhan ekonomi terancam tergerus oleh dampak pemotongan belanja pemerintah.

Pada semester I lalu, pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,04 persen. Artinya, menurut Sri Mulyani, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, ekonomi pada semester II ini harus tumbuh mendekati 5,4 persen.

"Saya akui, (mencapai pertumbuhan ekonomi) 5,2 persen cukup berat," kata dia dalam rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/8). (Baca juga: Menkeu: Pemangkasan Anggaran Membuat Ekonomi Melambat 0,1 Persen)