Meski berkembang pesat, layanan teknologi finansial atau yang biasa disebut fintech (financial technology) belum memiliki regulasi khusus. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menggodok aturan seputar layanan tersebut.
Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, menilai otoritas terkait perlu menyegerakan aturan-aturan tersebut. “Makin lama mereka akan makin besar, jangan tunggu besar baru diatasi, nanti jadi masalah,” kata David kepada Katadata, Jumat, 2 September 2016. (Baca juga: Penetrasi Internet Melalui Ponsel Tingkatkan Akses ke Perbankan).
Menurut dia, seperti halnya bank dan perusahaan investasi konvensional, layanan fintech juga memiliki risiko tindak kecurangan (fraud) termasuk penipuan yang perlu segera dimitigasi. Ia mencontohkan kasus fraud yang terjadi pada perusahaan fintech asal Amerika Serikat, Lending Club, yang berujung pada pengunduran diri CEO Lending Club Renaud Laplanche.
Perkembangan layanan fintech memang tak terelakkan seiring dengan melesatnya pertumbuhan internet dan transaksi keuangan nontunai (cashless). Meski begitu, David memprediksi layanan fintech baru akan dipakai luas lima sampai sepuluh tahun mendatang. “Tergantung seberapa cepat penetrasi internet di Indonesia,” kata dia.
Sekedar informasi, layanan fintech sudah duluan berkembang di berbagai negara seperti di Eropa, Amerika, dan Cina. Tapi, negara-negara tersebut juga masih berupaya memitigasi risiko. Misalnya, walaupun pertumbuhan kencang di Cina tapi banyak yang abal-abal, yang bangkrut pun tak sedikit.
Dalam diskusi dengan media akhir pekan lalu, Deputi Gubernur BI yang membidangi sistem pembayaran Ronald Waas mengungkapkan bahwa bank sentral sebagai regulator tidak akan mematikan model layanan itu, namun mengatur agar industri tidak bergerak liar. "Jadi sebelum masuk industri keuangan, kami mitigasi risikonya," kata Ronald.
Menurutnya, selain menyiapkan aturan, BI juga berencana membuat unit bersama untuk menangani metode pembayaran digital melalui fintech. Unit Bersama yang bakal dinamakan "Fintech Office" tersebut bakal diisi BI, OJK, beberapa kementerian dan lembaga negara, serta asosiasi e-commerce dan fintech. Unit tersebut menjadi wadah untuk mengevaluasi dan mengukur risiko layanan finansial berbasis digital.
BI menargetkan aturan rampung pada September ini. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan institusinya akan berfokus untuk membuat rambu-rambu bagi pelaku usaha fintech yang bisnis utamanya berupa clearing and settlement (transaksi pembayaran). Sementara OJK dan lembaga terkait lainnya bakal mengatur pelaku usaha fintech yang inti bisnisnya mencakup deposit (penyimpanan dana), lending (penyaluran dana), capital raising (pengumpulan modal), dan market provisioning (penyediaan pasar). Selain mengatur soal investasi dan manajemen risiko.
Akhir Agustus lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengatakan aturan OJK bakal keluar dalam waktu dekat. Saat ini, pihaknya dalam tahap mendata perusahaan fintech. Otoritas berencana mengajak para pemilik layanan untuk membahas bersama soal regulasi. (Baca juga: OJK Siapkan Aturan Tata Kelola Risiko Layanan Teknologi Finansial).
Ada puluhan perusahaan fintech rintisan (start up) yang sudah didata OJK. Beberapa perusahaan fintech yang mulai banyak dikenal di antaranya HaloMoney, Bareksa, CekAja.com, Doku, Veritrans, Kartuku, dan Ngaturduit.com.
Meski belum ada aturan lengkap, kemunculan start up fintech mulai mencuri perhatian perbankan. Awal tahun ini, Bank Mandiri, misalnya, resmi mengoperasikan anak perusahaannya, Mandiri Capital Indonesia (MCI). Perusahaan itu akan memberikan akses penyertaan modal yang besar untuk start up yang utamanya berfokus dalam bidang fintech.
Pengembangan industri fintech juga mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo. Dalam pidatonya pada Indonesia Fintech Festival & Conference di Tangerang, Jokowi mendorong masyarakat, khususnya kaum muda, menciptakan layanan-layanan fintech. Layanan tersebut nantinya akan digunakan untuk meningkatkan akses keuangan, baik perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Tujuannya agar target inklusi atau penetrasi layanan jasa keuangan sebesar 75 persen dari seluruh masyarakat Indonesia pada 2019 bisa tercapai.
"Saya sangat optimistis peningkatan inklusi keuangan adalah salah satu hal yang penting sebagai alat memangkas kesenjangan pendapatan di negara kita atau di belahan dunia. Saya berharap konferensi ini dapat melahirkan terobosan dalam penggunaan teknolgi digital dan inklusi keuangan," ujarnya. (Baca juga: Presiden Dorong Teknologi Finansial buat Transaksi Keuangan).