Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 122 tahun 2016, yang merupakan turunan dari Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Peraturan tersebut melengkapi dua PMK dan satu Keputusan Menteri Keuangan yang sudah lebih duluan dirilis sebagai petunjuk teknis kebijakan amnesti pajak.
PMK Nomor 122 tahun 2016 ini mengenai tata cara pengalihan dana wajib pajak ke dalam negeri (repatriasi) serta penempatan investasi di luar pasar keuangan. Kepala Subdirektorat Pengelolaan Portofolio Surat Utang Negara (SUN) Kementerian Keuangan Novita Puspita Wardani mengatakan, pihaknya dalam aturan itu membahas secara teknis tata cara repatriasi terutama ke sektor riil.
"Berarti instrumen repatriasi sudah lengkap," kata Novita seusai acara sosialisasi kebijakan amnesti pajak di Jakarta, Selasa (9/8). Sekadar informasi, setelah disahkan menjadi UU pada akhir Juni dan berlaku efektif medio Juli lalu, kebijakan pengampunan pajak sudah memiliki tiga aturan teknis. Yaitu PMK No. 118 tentang pelaksanaan UU Tax Amnesty dan PMK No. 119 mengenai tata cara pengalihan harta wajib pajak ke dalam negeri.
(Baca: Alot, Pembahasan Aturan Skema Dana Tax Amnesty ke Sektor Riil)
PMK No. 119 itu juga mengatur penempatan dan repatriasi dana hasil tax amnesty pada instrumen investasi di pasar keuangan. Selain itu, ada satu Keputusan Menteri Keuangan 600 yang mengatur perihal bank persepsi.
Menurut Novita, beberapa hal diatur secara detail di dalam kedua PMK tersebut. Yaitu penempatan dana pada instrumen investasi properti dan logam mulia. Hal ini untuk menunjang investasi di sektor riil. "Semua dilakukan melalui gateway yakni bank," katanya.
Dalam salinan salah satu bagian PMK No. 122/2016 yang diterima Katadata, diatur mengenai ketentuan status manajer investasi yang mengelola dana repatriasi itu. Yaitu manajer investasi itu dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak usahanya, mengelola reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan aset jaminannya proyek sektor riil senilai minimal Rp 200 miliar.
"Manajer investasi itu juga harus mengelola dana kelolaan sampai peringkat 10 besar untuk periode pelaporan terakhir," demikian bunyi salah satu beleid aturan tersebut. (Baca: Demi Tax Amnesty, Sri Mulyani Setop Pemeriksaan Pelanggar Pajak)
Pada pekan lalu, Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pembiayaan, Pengelolaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Loto Srianita Ginting mengungkapkan, pemerintah memang masih membahas satu aturan teknis pengampunan pajak mengenai penempatan dana repatriasi ke sektor riil. Pembahasan itu melibatkan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Salah satu poin pembahasannya adalah skema penempatan dana, apakah berdasarkan sektor usaha atau hanya terbatas untuk proyek infrastruktur prioritas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang akan menentukan dan mengumumkan sektor usaha atau proyek prioritas yang mendapat kucuran dana repatriasi hasil amnesti pajak itu.
Sedangkan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, pembahasan PMK ketiga tersebut berlangsung lama karena terkait dengan batasan waktu penempatan dana di dalam negeri minimal selama tiga tahun. Namun, mekanisme penguncian waktu itu menjadi sulit kalau dananya ditempatkan ke sektor riil.
(Baca: Pemerintah Janjikan Repatriasi Dana di Indonesia Lebih Untung)
Apalagi, kalau dana itu kemudian berpindah-pindah ke instrumen investasi atau sektor lainnya. “Bagaimana mekanisme lock up-nya. Bukan tidak ada jalan keluar. Hanya nanti, bagaimana kalau itu pindah-pindah (instrumen),” ujar Nurhaida.