Kementerian Keuangan hingga kini belum merampungkan satu aturan turunan dari Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Aturan itu adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pemanfaatan dana repatriasi dari hasil kebijakan tersebut.
Salah satu poin penting yang perlu diatur dalam PMK tersebut adalah ketentuan mengenai penyaluran dana repatriasi oleh perbankan dalam bentuk pinjaman atau kredit. Berdasarkan UU Tax Amnesty, jangka waktu penempatan dana repatriasi di dalam negeri minimal tiga tahun. Wadah penampungnya beragam, mulai dari produk keuangan dan investasi, hingga ke sektor riil.
Namun, dana tersebut juga bisa diputar oleh perbankan dalam bentuk pinjaman kepada pihak lain. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau dana itu dipinjamkan kembali ke perusahaan yang masih terkait dengan peserta tax amnesty atau pemilik dana repatriasi tersebut (back to back loan). Apalagi, kalau pinjaman itu dikucurkan ke perusahaan asing atau berada di luar negeri.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, praktik seperti itu akan mengurangi dampak positif tax amnesty terhadap perekonomian dalam negeri. Sebab, dana yang berhasil dibawa masuk justru bisa juga digunakan oleh perusahaan asing yang hanya akan mendorong perekonomian negara lain.
(Baca: Ini Aturan-Aturan yang Menjelaskan Tax Amnesty)
Apalagi pemerintah mengizinkan perbankan asing ikut menjadi pintu masuk (gateaway) penampung dana repatriasi. “Back to back loan itu bagaimana? Apakah bisa dibolehkan membiayai perusahaan di luar negeri. Kalau itu dibolehkan, efek multiplier ke ekonomi berkurang,” katanya kepada Katadata, Rabu (20/7).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon mengatakan, secara tidak langsung larangan back to back loan sudah masuk dalam UU Tax Amnesty. Jadi, OJK belum berencana menerbitkan peraturan baru untuk mengatur secara khusus transaksi semacam itu.
“Secara implisit di jiwa UU Tax Amnesty itu sudah diatur seperti itu. Kalau terlalu banyak aturan justru akan membuat peserta tax amnesty semakin bingung,” kata Nelson seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Keuangan (Komisi XI) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
(Baca: Aturan Tax Amnesty Terbit, Menkeu Ancam Bank Asing Penjegal Repatriasi)
Meski begitu, ia mengatakan, transaksi tersebut semestinya bakal diatur dalam PMK ketiga mengenai aliran dana repatriasi ke sektor riil. Rencananya, aturan itu akan diterbitkan satu atau dua minggu ke depan.
Selain itu, PMK ini juga akan mengatur mengenai pengawasan terhadap dana peserta tax amnesty yang berpindah-pindah instrumen selama periode pengikatan tiga tahun. Menurut Nelson, dana yang ditempatkan dalam bentuk aset memang boleh dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit atau pinjaman baru. Sebab, pengusaha ingin agar dana yang dibawa masuk bisa kembali dijadikan modal untuk berinvestasi.
Hal itu juga dapat dimaklumi sehingga dana tersebut membawa dampak terhadap perekonomian, khususnya ke sektor riil. Tetapi, dia mengingatkan bahwa dana turunan dari repatriasi ini, baik dalam bentuk kredit atau pinjaman lainnya, harus tetap digunakan untuk aktivitas di dalam negeri.
“Dana yang masuk di deposito atas dasar ini seperti cash colateral. Lalu, saya tarik kredit, misalnya, dana kredit turunan di cash colateral ini juga harus (untuk) proyek (atau perusahaan) di dalam negeri,” ujar Nelson.
(Baca: Banjir Dana Repatriasi, BI Dorong Bank Perbesar Kredit Valas)
Setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU Tax Amnesty akhir Juni lalu, pemerintah segera menerbitkan aturan turunannya. Ada tiga aturan turunan yang sudah terbit. Pertama, Pertama, PMK Nomor 118 tentang Pelaksana Undang-Undang Pengampunan Pajak. Di sana diungkapkan mengenai subjek dan objek pengampunan pajak. Lalu juga menyangkut persyaratannya, dan beberapa topik lainnya.
Kedua, PMK Nomor 119 tentang tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Indonesia dan Penempatan Investasi di Pasar Keuangan. Beberapa hal yang diuraikan, di antaranya, menyangkut bank persepsi untuk menerima tarif tebusan tax amnsety dan lembaga keuangan yang bisa menjadi pintu masuk (gateway) dana repatriasi.
Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Peraturan tentang Dokumen dan Pedoman Teknis Pengisian Dokumen dalam Rangka Pelaksanaan Pengampunan Pajak.