Menkeu Buat Tiga Syarat Daerah Khusus Tax Havens di Indonesia

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
23/6/2016, 10.46 WIB

Pemerintah berencana membentuk sebuah “pulau” atau kawasan khusus suaka pajak (tax havens) bagi para pengusaha di Indonesia. Ada beberapa kriteria dalam menentukan wilayah surga pajak tersebut, salah satunya adalah telah menerapkan rezim pajak yang berbeda.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan, ada tiga kriteria agar suatu daerah atau wilayah bisa dijadikan offshore financial center alias pusat bermukimnya perusahaan-perusahaan cangkang atau perusahaan bertujuan khusus atau Special Purpose Vehicle (SPV). Pertama, memiliki infrastruktur yang memadai, seperti lembaga keuangan skala internasional.

Kedua, bukan wilayah yang sudah memiliki rezim pajak normal, seperti Jakarta. Artinya, wilayah itu telah menerapkan sistem pajak yang khusus, misalnya tarif pajak lebih rendah.

Ketiga, daerah tersebut harus mempunyai infrastruktur yang memadai. “Jadi tidak boleh yang underdevelopment (masih pengembangan), tapi infrastruktur memadai lah,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (22/6) malam.

(Baca: Bali, Batam, dan Bintan Berpotensi Jadi Pulau Tax Havens)

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, Batam, Bintan, dan Bali menjadi wilayah potensial untuk pembentukan offshore financial center.

Pertimbangannya, wilayahnya belum terlalu kompleks seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Selain itu, Batam merupakan kawasan perdagangan bebas (free trade zone) sehingga selama ini sudah banyak kemudahan yang diberikan pemerintah kepada investor. “Secara lokasi (Kepulauan Riau), iya (memenuhi kriteria). Karena, wilayah baru yang belum kompleks sehingga masih mudah ditata,” katanya kepada Katadata.

(Baca: Setelah Tax Amnesty, Pemerintah Siapkan Pulau Suaka Pajak)

Rencananya, pemerintah akan merealisasikan rencana tersebut setelah penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) tahun ini. Pemerintah juga tengah mengkaji dan membahas peraturannya bersama DPR.

Pada akhir pekan lalu, Bambang pun mengungkapkan, sudah menyampaikan wacana pendirian pulau suaka pajak tersebut kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ia berharap, langkah sosialisasi ini bisa menjadi pertimbangan bagi pengusaha agar tetap menempatkan dananya di dalam negeri. Sebab, pengusaha bisa memanfaatkan uangnya di pulau suaka pajak, tanpa harus ke luar negeri.

Jadi, perputaran dananya masih berlangsung di dalam negeri. Likuditas yang memadai itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama untuk pembiayaan infrastruktur. “Multiplier effect-nya kalau uang diputar di dalam negeri, ekonomi tumbuh dan bergerak. Minimal Pajak Pertambahan Nilai (dari penjualan dan konsumsi masyarakat) bisa naik,” kata Prastowo.

(Baca: Direktorat Pajak Kantongi 2.000-an Nama di Negara Tax Havens)

Meski begitu, dia mengingatkan pemerintah agar pengawasan pajak di wilayah suaka pajak itu harus optimal. Dengan pengawasan ketat maka dapat menghindari terjadinya tindak pidana pencucian uang di sana. Kondisi tersebut kini terjadi di Pulau Labuan.

Sekadar informasi, Pulau Labuan di Malaysia telah menjadi offshore financial center sejak 1990. Di wilayah ini, pengusaha Indonesia—yang tinggal di luar negeri—bisa membuat dan mendaftarkan perusahaan SPV miliknya agar memperoleh tarif pajak lebih rendah.