Ironis, Keuangan Syariah Lebih Berkembang di Inggris dari Indonesia

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
18/5/2016, 11.54 WIB

Pemahaman masyarakat yang minim atas keuangan syariah kurang memacu perkembangan industri tersebut di dalam negeri. Variasi instrumen investasi yang sedikit dan rendahnya insentif juga mengganjal pemanfaatan keuangan syariah untuk membiayi pembangunan.

Dalam sidang tahunan Bank Pembangunan Islam, Islamic Development Bank (IDB), ke-41, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sardjito mengatakan masyarakat, bahkan muslim fanatik, belum paham dengan instrumen keuangan syariah. Jumlahlanya fantastis, 94 persen masyarakat tidak mengerti pasar keuangan, termasuk syariah.

Dari sisi penerbit, pemain pasar pun meragukan hukum dan perpajakan surat utang syariah atau sukuk. Menurut Sardjito, yang terpenting bagi pasar adalah insentif pajak. Tanpa insentif, industri keuangan syariah sulit bersaing dengan keuangan konvensional. (Baca: IDB Dorong Pemerintah Atasi Hambatan Penerbitan Sukuk).

“Problemnya cukup banyak. Karena itu Malaysia dan yurisdiksi lain memberikan insentif pajak,” kata Sardjito di sela-sela acara IDB, kemarin. “Kenapa London (Inggris) ramai orang belajar Islamic Finance, ya karena itu. Agak ironinya itu, Indonesia kan muslim terbesar di dunia.”

Ketika membuka konferensi tersebu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengakui banyak tantangan yang dihadapi 57 negara anggota IDB. Di sisi lain, memanfaatkan keuangan syariah untuk pembiayaan infrastruktur menjadi penting. Apalagi mayoritas anggota IDB merupakan negara penghasil minyak dan gas yang sedang tertekan oleh penurunan harga komoditas tersebut, yang menyumbang pada pelemahan ekonomi global.

Karena itu, Kalla berpandangan bahwa pembangunan infrastruktur menjadi langkah strategis menghadapi risiko perlambatan ekonomi dunia. “Kami juga paham banyak negara anggota yang mengalami konflik dan perang. Ini menyebabkan kerusakan infrastruktur. Karena itu, IDB harus memikirkan untuk menjadi bank rekonstruksi, rehabilitasi, dan re-build,” ujar Kalla. (Baca: Animo Asing Tinggi, Pemerintah Rilis Sukuk Global US$ 2,5 Miliar).

Menghadapi kendala minimnya pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah, dia menegaskan pemerintah akan mendorong peningkatan pendidikan bagi generasi muda. Di sini butuh kebijakan yang komprehensif untuk mendorong industri syariah. Misalnya, dengan memperbaiki sistem keuangan dan birokrasi, juga meningkatkan promosi keuangan syariah.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, industri keuangan terpantau lebih stabil menghadapi gejolak ekonomi global. Karena itu pemerintah berusaha mengembangkan instrumen keuangan syariah sebagai pembiayaan infrstruktur. Langkah yang sudah dilakukan yaitu menambah instrumen sukuk berupa wakalah, hybrid, dan campuran. Beragamnya instrumen ini diharapkan memberi banyak pilihan investasi sehingga menarik minat masyarakat.

Pemegang Sukuk Korporasi (Katadata)

Sepanjang 2015-2019, pemerintah membutuhkan pendanaan infrastruktur lebih dari Rp 5 ribu triliun. Salah satu upaya yang digalakan pemerintah yaitu menerbitkan sukuk. Per 10 Mei 2016, total penerbitan sukuk negara mencapai Rp 503 triliun atau setara US$ 38 miliar dengan outstanding sekitar Rp 380 triliun atau US$ 29 miliar. Sejak 2009, penerbitan sukuk berdenominasi dolar Amerika Serikat sebesar US$ 10,15 miliar dengan outstanding US$ 9,5 miliar. Sukuk berkontribusi 15 persen terhadap pembiayaan pemerintah.

Dalam forum IDB ini, kata Bambang, pelaku pasar dan pengambil kebijakan dari negara anggota bisa saling berbagi pengalaman terkait pengembangan keuangan syariah. CEO Plus Malaysia Berhad Dato’ Noorizah Hj Abd Hamid dan Global Head of Islamic Finance-Linklaters, Dubai Neil D. Miller, misalnya, membahas sukuk untuk pembiayaan infrastruktur di Malaysia dan GCC. Kemudian, Director of Infrastructure Department-IDB  Waled Abdulwahab menyajikan pengalaman pembiayaan infrastruktur negara-negara anggota IDB.

Dalam konteks keperluan credit enhancement dalam penerbitan sukuk, khususnya sukuk korporasi, Director Legal and Claims Department ICIEC-IDB Adil Babiker juga menyampaikan mekanisme dan pengalaman instansinya memberikan fasilitas penjaminan penerbitan sukuk. Di antara kunci keberhasilan sukuk untuk pembiayaan infrastruktur adalah kedalaman sektor keuangan (financial deepening) yang memungkinkan terserapnya sukuk bertenor panjang yang sejalan dengan karakteristik proyek infrastruktur. (Lihat pula:  Terjual Rp 31,5 Triliun, Pegawai Swasta Pembeli Terbanyak Sukuk).

“Indonesia dan IDB telah berhasil menyelesaikan program kemitraan strategis negara-negara anggota (Member Country Partnership Strategy/MCPS) periode pertama 2011-2014, dan berhasil mendanai area-area penting dalam pembangunan seperti infrastruktur dan sektor swasta. Kesuksesan ini diharapkan berkembang di MCPS periode 2016-2020,” tutur Bambang.