Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan instrumen moneter baru, berupa suku bunga acuan pengganti BI rate. Suku bunga baru yang kabarnya akan mulai berlaku awal Agustus nanti itu, bertujuan lebih memudahkan perbankan menurunkan bunga simpanan dan kredit, sekaligus untuk pendalaman pasar keuangan.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, langkah BI ini berdasarkan hasil kajian dari penerapan BI rate selama ini. Sebab, belakangan ini, besaran BI rate sudah tidak lagi sejalan dengan angka inflasi. Contohnya, per akhir Maret lalu, inflasi secara tahunan (year on year) sebesar 4,45 persen. Sedangkan BI rate masih sebesar 6,75 persen, meski bank sentral sudah tiga kali memangkas suku bunga acuan itu sejak awal 2016.
Bahkan, ke depan, tren penurunan inflasi diperkirakan terus berlanjut di tengah rendahnya harga komoditas. Apalagi, sejak awal tahun ini, pemerintah sudah dua kali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu pula dengan Tarif Dasar Listrik (TDL), sehingga inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price) bakal terus melorot.
“BI Rate itu kan hubungannya dengan inflasi. Jadi perlu di-review,” kata Darmin di Jakarta, Kamis (14/4). Namun, dia enggan menjelaskan lebih jauh hasil kajian tersebut dan instrumen baru moneter yang akan diluncurkan bank sentral. “Semestinya kebijakan baru ini arahnya lebih baik. Tapi tolong, saya jangan didorong menceritakannya.”
(Baca: BI Tak Lagi Agresif Mengubah Suku Bunga)
Rencananya, BI memang baru akan mengumumkan kebijakan itu dalam konferensi pers, Jumat (15/4) besok. Namun, para pejabat BI masih bungkam perihal detail kebijakan anyar itu. Sejumlah analis dan ekonom juga enggan berkomentar hingga menanti pengumuman resmi dari BI.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Katadata, pejabat bank sentral telah menyampaikan rencana kebijakan baru itu kepada para ekonom dan analis dalam acara analyst meeting, Senin lalu (11/4). Latar belakang kebijakan tersebut berangkat dari kritik para pelaku pasar keuangan sejak 2013 lalu bahwa BI rate sebaiknya dihapuskan saja karena tidak lagi mencerminkan kondisi di pasar.
(Baca: BI Rate Turun 3 Kali, BI Menilai Kebijakannya Belum Efektif)
Kondisi itu terjadi sejak kebijakan quantitative easing pemerintah Amerika Serikat (AS) pasca krisis 2008 yang menimbulkan likuiditas berlimpah dan membanjiri pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Likuiditas berlebih itu mengerek penurunan bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan fasilitas simpanan (deposit facility) BI. Namun, BI rate cenderung stagnan di level 7 persen untuk mengerem laju inflasi.
“Fitrah benchmark atau suku bunga patokan itu kan harus jadi acuan suku bunga pasar. Tapi sekarang bunga pasar kemana, bunga acuannya kemana,” kata seorang pelaku pasar keuangan.
Di sisi lain, para pelaku pasar keuangan kesulitan mencari instrumen investasi dengan bunga yang mendekati BI rate. Yang ada adalah instrumen, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 9 bulan, atau term deposit 10 tahun. Sedangkan term deposit 1 tahun yang dianggap mendekati BI rate, terkadang besarannya masih di bawah bunga acuan tersebut.
(Baca: Agresif Pangkas GWM, BI Dianggap “Kompromi” dengan Pemerintah)
Atas dasar itulah, BI memandang perlu adanya sebuah instrumen baru yang besaran bunganya dapat dijadikan acuan oleh pelaku pasar untuk berinvestasi maupun oleh perbankan untuk menentukan suku bunga simpanan dan kredit. Menurut seorang pelaku di industri perbankan, instrumen baru itu adalah reverse repurchase agreement (repo) berjangka tujuh hari. Sekadar informasi, repo merupakatan transaksi penjualan surat berharga dengan syarat dan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Sebagai jaminan atau kolateralnya adalah Surat Berharga Negara (SBN). Misalnya, sebuah bank yang mempunyai SBN dan membutuhkan dana tunai bisa menggadaikan surat tersebut. Jangka waktunya selama tujuh hari untuk kemudian dibeli kembali oleh bank tersebut.
Transaksi ini tentu saja ada harganya. Bank sentral akan menetapkan repo rate tujuh hari, misalnya sebesar 5,75 persen. “Jadi nanti bank yang mempunyai likuiditas akan memberikan bunga, misalnya dua persen di atas repo rate BI itu,” katanya.
(Baca: Paksa Perbankan, Jokowi Ingin Bunga Kredit Cuma 4-6 Persen)
Ada dua manfaat dari suku bunga acuan baru tersebut. Pertama, akan memperdalam pasar keuangan dan menambah likuid transaksi SBN di dalam negeri. Kedua, menjadi pegangan bagi bank dalam menentukan bunga simpanan dan kredit kepada para nasabah. Dengan begitu, harapan menekan bunga kredit lebih rendah dapat tercapai untuk memacu sektor usaha dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Seperti diketahui, pemerintah dan Presiden Joko Widodo berkali-kali meminta agar perbankan menurunkan bunga kredit. Namun, hal itu masih sulit direalisasikan karena bank memberikan bunga simpanan yang tinggi. Dalihnya untuk menjaga likuiditas perbankan dan mengacu kepada Bi rate. Sementara itu, BI terkesan berhati-hati dalam memangkas BI rate untuyk menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah.
Dengan adanya instrumen baru yaitu repo rate BI tujuh hari ini, diharapkan perbankan lebih mudah menurunkan bunganya. Lantas, bagaimana nasib BI rate setelah adanya kebijakan baru itu? "BI rate yang sekarang akan dikenalkan sebagai bunga BI untuk tenor setahun,” kata seorang sumber.