KATADATA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana membentuk Satuan Kerja Pengawasan Konglomerasi Jasa Keuangan. Pasalnya, OJK merasa kesulitan mengawasi praktik konglomerasi tersebut yang berisiko tinggi terhadap stabilitas keuangan di dalam negeri.
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan, OJK sejak awal tahun ini mulai menerapkan dan menjalankan pengawasan konglomerasi di sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Dari hasil kajian dan analisa, OJK telah mengidentifikasi ada 50 entitas konglomerasi jasa keuangan di Indonesia. Yaitu, kelompok usaha yang memiliki banyak anak usaha di beragam bisnis keuangan, seperti bank, asuransi, pembiayaan, dan sekuritas.
Konglomerasi itu ada yang memiliki hubungan bisnis secara vertikal, yaitu ada induk dan anak usaha, dan hubungan secara horizontal yang dikendalikan oleh pemegang saham yang sama. Selain itu, ada pula hubungan konglomerasi tersebut bersifat kombinasi antara horizontal dan vertikal.
Irwan menjelaskan, 50 konglomerasi keuangan tersebut menguasai 80 persen total aset perbankan di Indonesia yang sebesar Rp 5.127 triliun. Rinciannya, sebanyak 14 grup keuangan memiliki pola vertikal, 29 grup konglomerasi yang horizontal cenderung memiliki sister company, dan tujuh grup memiliki pola kombinasi.
Yang menarik adalah, tidak semua konglomerasi jasa keuangan tersebut menginduk atau memiliki entitas utamanya adalah bank. Irwan menyatakan, 47 konglomerasi itu memiliki entitas utama perbankan, dan tiga konglomerasi lainnya memiliki entitas utama nonbank, seperti sekuritas dan multifinance.
Jadi, dia menilai, konglomerasi keuangan ini berisiko tinggi terhadap stabilitas keuangan di dalam negeri karena menguasia mayoritas pasar. Selain itu, pengawasannya lebih sulit karena tidak semua konglomerasi itu menginduk pada perbankan. “Kalau entitas utama adalah bank akan lebih mudah (pengawasannya),” kata Irwan dalam seminar bertajuk “Konglomerasi Jasa Keuangan di Indonesia” di Jakarta, Rabu (13/1). Apalagi, penilaian risiko kelompok jasa keuangan terintegrasi terdiri atas 10 resiko, yang delapan di antaranya merupakan penilaian dari sisi perbankan.
Saat ini, OJK memang masih dalam tahap membangun dan menganalisis kajian pemetaan konglomerasi di industri jasa keuangan tersebut. Selanjutnya, OJK akan membentuk Satuan Kerja Pengawasan Konglomerasi yang bertugas menyusun rencana pengawasannya. “Kewenangan pengawasan akan ditangani oleh pengawas individual, sehingga tidak membingungkan,” ujar Irwan.
Bentuk lain pengawasan konglomerasi tersebut adalah membuat aturan baru. Tahun depan, OJK berencana mengeluarkan aturan mengenai perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum kelompok jasa keuangan terintegrasi. Model perhitungannya sama dengan kewajiban permodalan suatu entitas keuangan yang berdiri sendiri alias tidak berkelompok.
Dari hasil perhitungan tersebut, bakal terlihat entitas konglomerasi yang permodalannya harus ditambah. “Kalau memenuhi semua (minimum permodalan), berarti no issue. Tapi kalau begitu dihitung tidak cukup, akan dilihat siapa yang kurang. Itu yang diminta untuk ditambah (modalnya),” kata Irwan.
Dalam kesempatan yang sama, dia mengungkapkan, Rencana Bisnis Bank (RBB) 2016 yang telah disampaikan oleh 118 bank menunjukkan target total pertumbuhan aset perbankan sebesar 12,5 persen. Rinciannya, target pertumbuhan aset kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I hingga IV berturut-turut masing-masing 20,2 persen, 13,2 persen, 10,8 persen, dan 13,2 persen. Sedangkan target pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) masing-masing 13,98 persen dan 12,65 persen. “Ada optimisme di 2016, mudah-mudahan bisa berjalan,” katanya.
Di sisi lain, perbankan menargetkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) bisa turun menjadi di bawah 2,5 persen. Irwan optimistis target itu bisa tercapai karena faktor percepatan pertumbuhan kredit dan program restrukturisasi kredit. Apalagi, jumlah provisi atau pencadangan mencukupi untuk mengatasi kredit macet.