Ketatnya likuiditas mermbuat perbankan melirik instrumen surat utang global atau global bond, sebagai alternatif untuk mendapatkan tambahan pembiayaan.
Setidaknya ada dua bank besar Indonesia yang menerbitkan global bond, yakni PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Bank Mandiri menyelesaikan penjualan global bond pada 5 Mei 2020, sementara BNI baru awal bulan ini merilis global bond.
Bank Mandiri meraup dana segar senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,56 triliun. Surat utang berjenis Euro Medium Term Note (EMTN) berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) ini memiliki tingkat bunga 4,75% per tahun, dengan tenor lima tahun.
Ketika ditawarkan, Global bond Bank Mandiri dilaporkan kebanjiran peminat dengan mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) hampir 5 kali. Total permintaan investor mencapai US$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 36,31 triliun.
Adapun, investor yang paling banyak membeli instrumen surat utang bank pelat merah ini mayoritas berasal dari Asia yakni mencapai 66%. Sisanya adalah investor dari negara-negara di kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan AS.
Sementara, BNI baru mengumumkan penawaran surat utang jangka menengah berdenominasi euro (EMTN), dengan target perolehan dana sebesar US$ 2 miliar atau setara Rp 29 triliun. EMTN ini didaftarkan pada Singapore Stock Exchange (SGX-ST).
Dalam keterbukaan informasi, Senin (11/5), Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana mengungkapkan, perusahaan akan menggunakan pinjaman ini untuk ekspansi bisnis dan pembiayaan kembali utang.
(Baca: BNI Bidik Dana Rp 29 Triliun dari Penerbitan Surat Utang Global)
“Pembentukan Program EMTN dan rencana penerbitan surat utang di dalamnya akan berdampak positif bagi perseroan karena ditujukan antara lain untuk ekspansi bisnis dan pembiayaan kembali utang yang telah ada (debt refinancing),” kata Meiliana.
Selain Bank Mandiri dan BNI, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) sudah lebih dulu menerbitkan junior global bond pada awal 2020. Bank dengan kode saham BBTN ini menerbitkan obligasi global senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,2 triliun dengan permintaan oversubscribed sebanyak 12,3 kali. BTN menawarkan dengan tingkat bunga 4,2% per tahun selama jangka waktu lima tahun.
Penerbitan global bond oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk di dalamnya bank, memang tengah didorong sebagai sumber alternatif pembiayaan. Menteri BUMN Erick Thohir mendorong perusahaan milik negara untuk lebih kreatif mencari pendanaan.
"Tidak hanya mengandalkan kucuran dana dari perbankan, penerbitan obligasi dalam dolar ini juga patut untuk ditiru," kata Erick, dalam video conference, Rabu (6/5).
Cara berbeda ditempuh oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), yang lebih mengandalkan pinjaman perbankan internasional, ketimbang menerbitkan global bond.
Bank spesialis kredit mikro ini, memperoleh komitmen pinjaman luar negeri sebesar US$ 1 Miliar atau Rp 15 Triliun dalam bentuk skema club loan. Komitmen pinjaman ini berasal dari 10 bank di wilayah Asia, Eropa, dan Amerika Serikat (AS).
Tujuan dari fasilitas pinjaman tersebut akan digunakan untuk memperkuat struktur liabilitas, dan meningkatkan net stable funding ratio. Kemudian, dana juga akan digunakan untuk menjaga likuiditas valas, dan menyiapkan sumber pendanaan untuk ekspansi kredit.
(Baca: Surat Utang Global Bank Mandiri Rp 7,6 Triliun Kebanjiran Peminat)
Menanti Bantuan Pemerintah
Meski banyak bankir tidak mengakuinya, likuiditas sektor perbankan boleh dikata ketat di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Buktinya, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) meminta pemerintah untuk segera merealisasikan rencana subsidi bunga.
Selain itu, Himbara juga meminta penempatan dana baru dari pemerintah untuk penguatan likuiditas. Bantuan ini dirasa perlu, karena bank khawatir likuiditas akan terganggu akibat angsuran pembayaran pokok pinjaman yang tidak dibayar dan ditunda.
Direktur Utama BRI Sunaro menyatakan menjalankan program restrukturisasi debitur terdampak pandemi corona mulai dirasakan dampaknya oleh perbankan.
"Dua skema restrukturisasi yang dijalankan ini berpengaruh terhadap pendapatan dan likuiditas BRI. Namun, kami sudah melakukan langkah antisipasi," kata Sunarso, dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).
Sembari terus mencari sumber-sember pendanaan baru, ia berharap pemerintah akan menempatkan dana dalam instrumen Dana Pihak Ketiga (DPK) di bank-bank yang melaksanakan restrukturisasi.
Pemerintah pun telah berkomitmen menempatkan dana dalam perbankan, untuk memperlancar upaya restrukturisasi terhadap debitur koporasi yang terdampak pandemi corona.
(Baca: Likuiditas Tertekan, BRI Harapkan Penempatan Dana Pemerintah)
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan, dana yang akan ditempatkan dalam perbankan ini sebesar Rp 35 triliun. Rencana ini, ia katakan, merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional.
"Pemerintah akan menempatkan dana di perbankan dalam rangka restrukturisasi debitur korporasi Rp 35 triliun. Ini merupakan dukungan pemerintah bagi dunia usaha" kata Febrio, melalui video conference, Rabu (13/5).
Penempatan dana ini akan didahului dengan penentuan bank pelaksana dan bank peserta. Pentuannya akan dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) setelah mendapatkan pertimbangan dan informasi dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk kriteria awal, pemerintah menetapkan bank yang akan menjadi destinasi penempatan dana harus memenuhi beberapa kriteria. Secara umum, kriteria yang ditetapkan adalah, bank umum Indonesia, sehat, dan termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar.
(Baca: Pemerintah Guyur Perbankan Rp 35 Triliun untuk Program Restrukturisasi)