OJK Catat Restukturisasi Kredit Perbankan Sudah Capai Rp 517 Triliun

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. OJK mengungkapkan industri perbankan telah merestrukturisasi kredit lebih dari 5 juta debitur yang bisnisnya terdampak covid-19 dengan total Rp 517,2 triliun.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
4/6/2020, 15.14 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sektor perbankan dalam negeri telah merestrukturisasi kredit 5,33 juta debitur yang terdampak Covid-19 senilai Rp 517,2 triliun hingga 26 Mei 2020.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memerinci, jumlah tersebut terdiri dari 4,55 juta debitur usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, dengan nilai outstanding kredit yang direstrukturisasi sebesar Rp 250,6 triliun.

"Sisanya, outstanding non-UMKM senilai Rp 266,5 triliun dari 780 ribu debitur," kata Wimboh dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (4/6).

Wimboh menambahkan, untuk perusahaan pembiayaan alias multifinance, per 2 Juni 2020, sudah merestrukturisasi dengan outstanding kredit Rp 80,55 triliun yang berasal dari 2,6 juta kontrak yang disetujui. "Masih ada 485 ribu kontrak dalam proses persetujuan," katanya.

(Baca: Bank Mandiri Restrukturisasi Kredit 300 Ribu Debitur Senilai Rp 58 T)

Seperti diketahui bahwa mewabahnya virus corona di dalam negeri membuat debitur menghadapi risiko gagal bayar kredit karena bisnisnya terganggu. Namun, OJK mengeluarkan kebijakan agar debitur maupun kreditur tetap bisa menjalankan bisnisnya.

Dia menekankan, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit memberikan insentif bagi debitur terdampak corona. Keringanan dalam membayar kewajiban ini disesuaikan dengan kapasitasnya.

Selain itu, restrukturisasi bagi perbankan merupakan langkah yang tepat. Pasalnya, jika bank tidak melakukan restrukturisasi, status debitur berubah menjadi diragukan. Hal ini akan menutup peluang bank dalam merestrukturisasi kreditnya, karena debitur dengan status diragukan tidak bisa memperoleh keringanan yang ditetapkan pemerintah.

Jika demikian, bank harus meningkatkan pencadangan, yang akhirnya justru menggerus laba dan modal. Padahal, jika direstrukturisasi, kredit tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit lancar. Sehingga bank tidak perlu meningkatkan pencadangannya.

(Baca: BI Jamin Likuiditas Bank Terjaga untuk Lakukan Restrukturisasi Kredit)

Adapun bagi bank yang khawatir likuiditasnya terganggu karena restrukturisasi, pemerintah telah menyusun program penyangga likuiditas. Melalui program ini, pemerintah akan menempatkan dana di bank, yang kemudian disebut bank peserta.

Bank yang membutuhkan tambahan likuiditas, bisa meminjam ke bank peserta tersebut. Bank yang meminjam ini akan disebut sebagai bank pelaksana, karena penggunaan dananya akan digunakan untuk melaksanakan restrukturisasi.

Reporter: Ihya Ulum Aldin