Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, belanja pemerintah dan proyek Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan memicu permintaan kredit perbankan. Peningkatan demand ini, akan mendorong laju pemulihan ekonomi nasional, yang sempat lesu imbas pandemi virus corona atau Covid-19.
Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kebijakan stimulus ekonomi pemerintah seperti subsidi bunga dan penjaminan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta penempatan dana pemerintah di bank BUMN sebesar Rp 30 triliun akan mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan.
"Kredit perbankan bisa tumbuh sejalan dengan aktivitas ekonomi, maupun aktivitas proyek-proyek yang dilakukan atau distimulus oleh pemerintah,” kata Wimboh, dalam konferensi pers secara virtual, Senin (13/7).
Untuk mendorong laju permintaan kredit, tren suku bunga akan didorong turun. Hal ini sejalan dengan pengenaan bunga simpanan dana pemerintah di bank BUMN, yang di bawah rata-rata suku bunga simpanan.
Wimboh berharap, peningkatan laju pertumbuhan kredit yang ditopang oleh belanja pemerintah dan BUMN, dengan didukung suku bunga rendah, akan mampu mendorong laju pemulihan ekonomi nasional.
(Baca: Bank BUMN Optimistis Salurkan Kredit Rp 90 T, Ini Sektor yang Dibidik)
Kredit perbankan sempat melambat pada Mei 2020, dengan pertumbuhan hanya 3,05% secara year on year (yoy). Padahal, April 2020 lalu kredit masih mampu tumbuh 5,73% yoy. Hal ini disebabkan karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat gerak perusahaan dan masyarakat terbatas, sehingga permintaan kredit pun turun.
Meski demikian, OJK menilai kondisi industri perbankan berada dalam kondisi yang solid di tengaj pandemi corona, dengan kapasitas yang memadai untuk mendukung pemulihan ekonomi. Hal ini terlihat dari permodalan dan likuiditas perbankan yang cukup kuat, dengan profil risiko terjaga.
Tingkat permodalan perbankan, yang ditunjukkan dari current account ratio (CAR) masih stabil di atas 20%. Kemudian, likuiditas juga dinilai masih kuat, ditandai dengan kenaikan dana pihak ketiga (DPK), dari 8,08% pada April 2020 menjadi 8,87% pada Mei 2020.
Dilihat dari rasio likuiditas, OJK juga menilai kondisinya cukup baik, dengan tingkat alat likuid dibandingkan non core deposit (AL/NCD) per 24 Juni 2020 berada di level 125,5%. Sementara, sedangkan alat likuid dibandingkan dengan DPK (AL/DPK) berada di level 26,83%.
Kemudian excess reserve perbankan juga tercatat meningkat, dengan posisi per 17 Juni 2020 sebesar Rp 1.125 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan posisi 18 Mei 2020, yang sebesar Rp 995 triliun.
(Baca: Bos-bos Bank Minta OJK Perpanjang Kebijakan Restrukturisasi Kredit)