Risiko Besar, BCA Belum Berani Garap P2P Lending Lewat Bank Royal

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan bisnis p2p lending sangat berisiko.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
16/7/2020, 20.33 WIB

Bank Central Asia Tbk (BBCA) telah merampungkan akuisisi Bank Royal Indonesia sejak April 2020 dan berniat menjadikannya bank digital. Namun, bank milik Grup Djarum ini masih belum berani masuk ke dalam bisnis pinjaman peer to peer (P2P) lending.

"Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja ketika dihubungi oleh Katadata.co.id, Kamis (16/7).

Jahja menjelaskan kalau risiko yang besar tersebut berkaitan dengan pinjaman tanpa jaminan. Selain itu, kesulitan lainnya terkait dengan data kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang belum banyak. "Jadi dasarnya apa mau memberi pinjaman?" katanya.

(Baca: Era Baru BCA, Ganti Nama Bank Royal jadi Bank Digital BCA Semester II)

Dia mengatakan bahwa saat ini pihak BCA memang tengah menyusun rencana bisnis Bank Royal. Namun, bank ini bakal fokus pada pengembangan sektor ritel dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) secara digital.

Hal senada juga disampaikan oleh Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn yang mengatakan bahwa hingga saat ini, tim internal BCA sedang berkoordinasi dan berkomunikasi untuk memastikan proses pengembangan ini dapat berjalan dengan baik.

Sebelumnya, Direktur BCA Vera Eve Lim mengungkapkan, perusahaan akan melakukan soft launching pada semester II tahun ini sekaligus memperkenalkan produk pertama Bank Digital BCA kepada masyarakat.

Soft opening akan diadakan secara internal dulu untuk aplikasi yang kita siapkan saat ini,” kata Vera dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/5).

(Baca: BCA, Artos dan Fenomena Bank Digital di Indonesia)

BCA resmi mengakuisisi Bank Royal Indonesia usai memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan akta akuisisi diteken oleh kedua belah pihak pada penghujung tahun 2019.

Tak tanggung-tanggung, BCA menggelontorkan dana hampir Rp 1 triliun, untuk mengambil alih seluruh saham Bank Royal dari pemilik sebelumnya yakni keluarga Soemedi yang memiliki usaha baja melalui Master Steel Mfg dan Pulogadung Steel.

Namun, sebelum proses akuisisi tersebut rampung, tepatnya akhir Juli 2019, Jahja pernah mengatakan bahwa Bank Royal bakal menyalurkan kredit melalui P2P lending. Sedangkan bisnis digital milik BCA lebih kepada payment system untuk efisiensi proses. "Kalau (digital) BCA kan masih seputar buka rekening," kata Jahja di Jakarta, pada 24 Juli 2019.

(Baca: BCA Bakal Ubah Bank Royal Jadi Bank Digital untuk Salurkan Kredit)

Jahja menjelaskan lebih detail, Bank Royal sebagai bank digital akan fokus menyalurkan pinjaman kepada segmen usaha kecil menengah (UKM). Kendati demikian, Bank Royal tidak akan seperti teknologi finansial (fintech) secara luas meskipun fokus pada bisnis P2P lending.

Menurut Jahja, perbedaan bisnis pinjaman digital yang digeluti oleh Bank Royal dengan P2P lending pada umumnya yakni bisnis Bank Royal akan berdasarkan basis data nasabah yang mereka miliki, sedangkan pemain lainnya tidak. "Mereka berdasarkan informasi dari sosmed, tidak tahu data dari mana, dengan algoritma mereka menawarkan (pinjaman)," kata Jahja.

Selain itu, pemain-pemain lain yang ada di industri P2P lending memberikan bunga, yang menurut Jahja, sangat tinggi. Sehingga, BCA berharap jika masuk ke industri tersebut melalui Bank Royal, bisa memberikan bunga yang tidak setinggi pemain lain. Meski begitu, Jahja belum bisa memperkirakan berapa bunga yang dikenakan.

(Baca: Transformasi ke Digital, BCA Bakal Suntik Modal Bank Royal Rp 700 M)

Reporter: Ihya Ulum Aldin