Pemerintah telah mengeluarkan keputusan untuk penambahan penyertaan modal negara (PMN) 2020 kepada perusahaan pelat merah dan lembaga pembiayaan. Tambahan PMN tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 500 Tahun 2020.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan tambahan PMN untuk tahun anggaran 2020 diberikan kepada tiga badan usaha milik negara. Total tambahan PMN untuk ketiga BUMN ini mencapai Rp 8,57 triliun.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI) mendapatkan tambahan PMN senilai Rp 5 triliun, sehingga secara total tahun ini LPEI mendapat PMN Rp 10 triliun. Berikutnya, pemerintah memberikan PMN diberikan kepada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) senilai Rp 1,57 triliun. Terakhir, tambahan PMN kepada PT Bio Farma senilai Rp 2 triliun.
"Kami merencanakan untuk menambah PMN tahun 2020 untuk kelompok pertama yaitu LPEI dan PII karena keduanya diminta untuk ditugaskan oleh pemerintah menyelenggarakan program penjaminan kepada korporasi," kata Isa dalam rapat dengan anggota Komisi XI DPR di komplek parlemen, Jakarta, Senin (16/11).
Ia menjelaskan pemberian PMN kepada LPEI bertujuan untuk menjamin permodalan penyelenggaraan penjaminan untuk korporasi yang menjadi pihak pertama yang ada di depan. Sementara untuk tambahan PMN Bio Farma, sebenarnya dianggarkan untuk 2021. "Tapi karena ada kebutuhan untuk yang lebih mendesak di percepat," katanya.
Masalahnya, KMK 500 yang sudah ditetapkan pekan kemarin ini ternyata belum dibicarakan dengan anggota DPR Komisi XI yang bermitra dengan Kementerian Keuangan. Anggotanya dari fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mempertanyakan hal ini.
"KMK 500 itu belum ada dan belum pernah dibicarakan bersama kami. Ini ada peningkatan yang sangat signifikan yang tadinya belum ada," kata Misbakhun menginterupsi paparan Isa.
Ia mengatakan, ingin memberikan tatakan hukum yang kuat terhadap apapun keputusan pemerintah, supaya legitimasinya makin kuat. Padahal, dalam rapat dengan Komisi XI pada 6 Mei 2020 telah disepakati, apapun yang menjadi rencana pemerintah perlu dikonsultasikan dengan DPR.
Misbakhun mengatakan sebenarnya Komisi XI sangat fleksibel dengan perubahan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga, seharusnya Kementerian Keuangan melakukan konsultasi terlebih dahulu sebelum memutuskan kebijakan, salah satunya KMK 500 ini.
Anggota DPR daerah pemilihan Jawa Timur II ini mengatakan, Komisi XI bukan sekedar menjadi pendukung tidak membicarakan substansi saja. Melainkan ingin memberikan substansi dari KMK 500 ini untuk apa saja.
"Di sini kan kami ingin bicara tentang, apapun keputusan pemerintah, kan kami tidak pernah tidak memberikan dukungan politiknya. Tapi jangan sampai kemudian itu diputus dulu oleh pemerintah, baru dibawa ke kami," katanya.
Menanggapi hal ini, Isa mengaku memang belum melakukan pembicaraan secara terperinci mengenai KMK 500 dengan Komisi XI DPR. Tapi secara implisit pernah disebutkan dalam rencana penjaminan korporasi yang sudah dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya.
"Saya cukup yakin di dalam perjalanan, sudah pernah disampaikan kebutuhan-kebutuhan untuk penjaminan korporasi dan kebutuhan untuk menambahkan modal bagi BUMN atau lembaga yang ditugaskan untuk melakukan penjaminan korporasi," kata Isa.
Adapun, nilai PMN yang telah dianggarkan oleh pemerintah untuk tahun ini senilai Rp 35,05 triliun, belum termasuk tambahan berdasarkan KMK 500. Dari nilai tersebut, pemerintah sudah mencairkan PMN senilai Rp 16,95 triliun kepada 5 perusahaan pelat merah hingga 10 November 2020.
Secara rinci, PT Hutama Karya (Persero) telah menerima pencairan PMN senilai Rp 3,5 triliun. Lalu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah menerima Rp 5 triliun dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) sudah menerima Rp 1 triliun.
Begitu pula dengan PT Sarana Multigriya Infrastruktur (Persero) telah mendapatkan PMN senilai Rp 1,75 triliun. Terakhir, PT Geo Dipa Energi (Persero) sudah menerima Rp 700 miliar pencairan PMN dari pemerintah.