BI Masih Bisa Turunkan Bunga Acuan dan Jaga Penguatan Rupiah

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) bersama Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Erwin Rijanyo, menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta,Kamis (20/2/2020).
9/2/2021, 18.10 WIB

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) saat ini di level 3,75%. Meski merupakan level terendah dalam lebih tujuh tahun terakhir, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bank sentral masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.

"Sehingga masih ada kemungkinan ruang untuk turun dengan tetap menjaga stabilitas, khususnya nilai tukar rupiah dan bagaimana lebih efektifnya mendorong pemulihan ekonomi," ujar Perry dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (9/2).

Bunga acuan BI saat ini merupakan yang terendah sejak 2013. Otoritas moneter menurunkan suku bunga secara agresif sebanyak lima kali sebesar 125 basis poin pada tahun lalu.

Terkait stabilitas nilai tukar rupiah, Perry mengatakan mata uang Garuda berpotensi terus menguat pada tahun ini. "Hal tersebut sejalan dengan levelnya yang secara fundamental masih undervalued," kata dia.

Mengutip Bloomberg, kurs Garuda menguat 0,05% ke level Rp 13.995 per dolar AS pada penutupan pasar spot sore ini. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, rupiah stagnan pada level Rp 14 ribu per dolar AS.

Potensi penguatan rupiah, lanjut Perry, terjadi karena defisit transaksi berjalan dan inflasi yang masih rendah. Daya tarik pasar keuangan atau imbal hasil surat utang negara juga lebih menarik dibanding negara lain.



Suku bunga acuan yang rendah tersebut pun diharapkan ia bisa mendorong penurunan suku bunga kredit. Dengan demikian, perbankan bisa dengan cepat menyalurkan kredit ke dunia usaha dan bisa mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Anggota Komisi XI DPR Didi Irawadi Syamsuddin menilai, penurunan suku bunga acuan selama ini sudah cukup signifikan. "Dengan demikian seharusnya sudah bisa mendorong pembentukan modal terjadi dengan cepat," kata Didi dalam kesempatan yang sama.

Turunnya suku bunga acuan seharusnya menjadi harapan tumbuhnya Pembentukan Modal Tetap Bruto alias investasi. Suku bunga yang tinggi biasanya menghambat investasi. Namun, penurunan bunga acuan tak juga memacu investasi sepanjang tahun lalu.

Investasi selama 2020 mengalami kontraksi 4,95% dan pertumbuhan ekonomi menurun 2,07% secara tahunan. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak 1998 atau saat krisis moneter, saat itu ekonomi negeri ini tumbuh negatif 13,13%.

Dari sisi pengeluaran, hanya konsumsi pemerintah yang tumbuh positif sebesar 1,94%. Motor penggerak ekonomi Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga ikut mengalami pertumbuhan negatif 2,63%.

Di sisi lain, Didi menuturkan bahwa suku bunga kredit juga sudah diturunkan. Tetapi, masih saja tak berpengaruh terhadap permintaan masyarakat. "Pertumbuhan ekonomi masih saja melempem," ujarnya.

Dia pun menyarankan agar bank sentral bisa merangsang permintaan masyarakat dengan berbagai kebijakannya. Hal tersebut guna menyelamatkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021.

Menteri Koordinator Airlangga Hartarto sebelumnya masih menargetkan  pertumbuhan ekonomi 4,5% hingga 5,5% tercapai. Ia memperkirakan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini tumbuh 1,6% hingga 2,1%.

Sejumlah data perekonomian, kata Airlangga, menunjukkan perbaikan. Purchasing Managers Index Januari naik menjadi 52,2%, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Indeks Kepercayaan Konsumen pada Desember juga sudah berada di level 96 atau mendekati optimistis, sedangkan neraca perdagangan tahun lalu positif US$ 21,74 miliar. "Kami harapkan kondisi yang membaik ini berlanjut di awal tahun ini," katanya.

Reporter: Agatha Olivia Victoria