Bank Indonesia membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana Rp 79,71 triliun sampai 29 Maret 2021. Langkah tersebut dilakukan untuk berpartisipasi membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Ini termasuk untuk membiayai vaksin," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Temu Stakeholders Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (1/4).
Selain membeli SBN di pasar perdana, beberapa kebijakan moneter terus dilakukan bank sentral guna mendukung pemulihan ekonomi. Salah satunya, melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui strategi intervensi pada tiga saluran (triple intervention) yakni di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian SBN.
Destry menyebutkan pembelian obligasi negara dari pasar sekunder yang dilakukan untuk stabilisasi rupiah mencapai Rp 8,6 triliun pada 2021. Saat ini, kurs Garuda berada pada sekitar level Rp 14.400 per dolar AS.
Kemudian, suku bunga kebijakan juga telah dipangkas sebanyak enam kali sejak 2020 sebesar 150 basis poin menjadi 3,5%. Angka tersebut merupakan yang terendah dalam sejarah.
Tak hanya itu, injeksi likuiditas yang besar terus dilakukan terhadap perbankan. Hingga saat ini, kucuran dana telah mencapai Rp 781,28 triliun sejak 2020. "Jumlah itu setara dengan 5,06% terhadap produk domestik bruto," ujar dia.
Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede menuturkan, porsi kepemilikan BI terhadap SBN gross cenderung melampaui porsi kepemilikan investor asing pada lelang tambahan kemarin. "Lelang tambahan menyerap Rp 15,02 triliun dari Rp 15,02 triliun penawaran yang masuk," kata Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (1/4).
Peningkatan porsi kepemilikan bank sentral tersebut merupakan langkah stabilisasi yakni triple intervention di pasar SBN. Sebagaiman diketahui, pasar obligasi negara dalam dua bulan terakhir ini cenderung tertekan oleh tren kenaikan imbal hasil surat utang AS.
Menurut dia, langkah stabilisasi BI itu berdampak positif dan menenangkan pasar dalam jangka pendek sehingga memitigasi potensi peningkatan imbal hasil SBN yang lebih tinggi lagi di pasar sekunder. Volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat Rp 22,34 triliun, lebih tinggi dari hari sebelumnya Rp 15,59 triliun. Seri benchmark lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun masing-masing berada di 5,91% (-1 bps), 6,78% (-1 bps), 6,65% (-1 bps), dan 7,49% (-3 bps).
Jumlah utang pemerintah terus bertambah. Hingga Februari 2021, total utang mencapai Rp 6.361,02 triliun atau naik 28,55% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang memcapai Rp 4.948,18 triliun.
Posisi utang pemerintah tersebut setara dengan 41,1% dari PDB. "Peningkatan rasio utang Indonesia di masa pandemi merupakan salah satu yang terkecil," bunyi buku APBN KiTa edisi Maret 2021 dikutip Senin (29/3).
Secara rinci, total utang pemerintah terdiri dari SBN Rp 5.498,63 triliun dan pinjaman Rp 862,38 triliun. Dengan demikian porsi SBN mencapai 86,44% dan pinjaman 13,56% terhadap total utang pemerintah.
Lebih rinci, utang dalam bentuk surat utang berasal dari domestik Rp 4.235,55 triliun yang meliputi surat utang negara (SUN) Rp 3.463,72 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 771,83 triliun. Sedangkan SBN valas berupa SUN Rp 1.011,23 triliun dan SBSN Rp 251,85 triliun.
Adapun utang pemerintah dalam bentuk pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,51 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 849,87 triliun. Pinjaman luar negeri berasal dari bilateral Rp 331,164 triliun, multilateral Rp 473,4 triliun, dan bank komersial Rp 45,31 triliun.