Bank Aladin Tunda Putuskan Rights Issue, Bagaimana Kewajiban Modalnya?

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Jakarta, Kamis (11/2/2021).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
14/4/2021, 18.53 WIB

PT Bank Net Indonesia Syariah Tbk. (BANK) atau yang kini berganti nama menjadi Bank Aladin Syariah menunda pembahasan terkait rencana penerbitan saham baru alias rights issue pada rapat pemegang saham. Padahal aksi korporasi itu bisa menjadi salah satu opsi untuk memenuhi ketentuan soal minimal modal inti bank.

Manajemen BANK yang diwakili oleh Direktur Operasional Basuki Hidayat dan Direktur Bisnis Mohammad Riza mengatakan perseroan belum dapat menyampaikan keterbukaan informasi terkait rights issue sehingga tidak membahasnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 7 April 2021 lalu.

"Perseroan belum dapat menyampaikan keterbukaan informasi karena rights issue masih dalam proses pembahasan internal manajemen," kata manajemen seperti dikutip dari keterbukaan informasi, Rabu (14/4).

Kendati demikian, manajemen BANK tetap berencana untuk melakukan aksi korporasi tersebut dalam waktu dekat, setidaknya dalam satu tahun ke depan.

Katadata.co.id sudah mencoba menghubungi Sekretaris Perusahaan BANK Ali Akbar Hutasuhut terkait rencana penawaran saham baru serta penggunaan dana dari rights issue tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis, Ali belum memberikan respons.

Rights issue menjadi salah satu cara untuk memenuhi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait modal inti. Otoritas mengatur pada 2020 modal inti bank setidaknya harus sebesar Rp 1 triliun, lalu bertambah menjadi Rp 2 triliun pada 2021, dan Rp 3 triliun tahun depan.

Berdasarkan laporan keuangan terbaru yang dirilis ke publik, tercatat modal inti BANK masih Rp 652,78 miliar per Juli 2020.

Cara lain meningkatkan modal inti yang sudah dilakukan perseroan adalah menjual saham ke publik melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui skema initial public offering (IPO). Perseroan baru saja melepas 5 miliar saham baru di harga Rp 103 per saham pada 1 Februari 2021 lalu.

Saat itu, BANK mampu meraup dana segar senilai Rp 515 miliar dari IPO. Namun, manajemen menganggarkan 60% dana tersebut untuk biaya pemeliharaan informasi teknologi dan penunjangnya. Sedangkan 40% sisanya digunakan untuk modal kerja yakni, biaya pemasaran, sewa, dan biaya lainnya.

Pemegang saham pengendali sudah berkomitmen untuk menambah modal, minimal sebesar yang dibutuhkan untuk meningkatkan modal inti senilai Rp 500 miliar.

"Berdasarkan surat Perseroan kepada OJK tanggal 21 Desember 2020, Perseroan memohon kepada OJK agar jadwal pemenuhan modal inti Perseroan paling lambat pada akhir Januari 2021," kata manajemen dalam prospektus IPO.

Saat ini mayoritas saham BANK dimiliki oleh PT NTI Global Indonesia sebesar 60,55%, sebesar 20% dimiliki oleh Bortoli International Ltd, dan Kasai Universal Inc memegang 6,18%. Sisanya, dimiliki oleh masyarakat.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat mengatakan, ada beberapa cara untuk memenuhi hal tersebut, salah satunya rights issue. Jika ketentuan Rp 1 triliun tidak bisa dipenuhi oleh pemilik bank, biasanya memang diakuisisi oleh beberapa investor lain.

Teguh menjelaskan, terkait ketentuan modal inti ini karena OJK tahu, industri perbankan ke depan semakin menantang. Dengan penambahan modal inti, industri perbankan tidak dibiarkan mati dengan sendirinya.

"Tantangannya macam-macam. Sehingga kita perlu menambah modal inti. Kalau tidak memenuhi cara, bisa melakukan konsolidasi," kata Teguh beberapa waktu lalu dalam pertemuan di Nusa Dua, Bali.

Reporter: Ihya Ulum Aldin