Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengatur porsi investasi pada produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) alias unit link. Rancangan aturan sudah memasuki tahap harmonisasi dan segera difinalisasi agar bisa terbit kuartal II 2021 ini.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2A OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, pengaturan investasi tersebut diterapkan karena OJK ingin melindungi kepentingan nasabah. Pasalnya, risiko unit link ditanggung oleh nasabah sedangkan instrumen investasinya ditentukan oleh perusahaan asuransi.
"Idealnya berjalan lancar. Tapi, kebetulan dibelikan (instrumen investasi) yang spekulatif sehingga nanti ujung-ujungnya yang rugi si nasabah. Perusahaan asuransi berdalih nasabah memilih saham," kata Ahmad dalam diskusi virtual, Rabu (21/4).
Secara filosofi, ia mengatakan, OJK akan mengatur soal porsi investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dalam produk tradisional, hal itu sekaligus menjadi tanggung jawab perusahaan. Pasalnya, OJK tidak mau perusahaan asuransi terekspos risiko investasi yang terlalu tajam.
"Tentunya filosofi yang sama, kami ingin melindungi kepentingan konsumen karena ini (unit link) tanggung jawab di konsumen. Rasanya kami perlu juga atur itu," kata Ahmad.
Meski begitu, Ahmad belum memberitahu besaran porsi investasi yang bakal diatur terkait penempatan dana produk unit link. Ia mengatakan, hal ini memang menjadi salah satu kendala dalam diskusi dengan asosiasi yang keberatan diatur karena menjadi tidak lincah.
"Kami mau melindungi dari sisi konsumen, tapi kami tidak mau mematikan lini usaha ini. Ini kami lagi cari keseimbangannya," kata Ahmad.
Seperti diketahui, per Februari 2021, portofolio investasi asuransi komersial mayoritas ditempatkan pada produk reksa dana. Nilainya mencapai Rp 188,43 triliun atau 31,9% dari total jumlah investasi Rp 590,71 triliun. Porsi besar lainnya ditempatkan pada instrumen saham senilai Rp 153,14 triliun atau 25,93% dari total investasi.
Sedangkan investasi pada surat berharga negara (SBN) hanya Rp 97,97 triliun atau setara 16,59%. Lalu, penempatan investasi pada deposito senilai Rp 61,61 triliun atau setara 10,43%.
Ahmad menyatakan, besarnya porsi investasi pada instrumen yang memiliki risiko tinggi, membuat kinerja perusahaan asuransi menjadi terpengaruh kala pergerakan indeks saham mengalami penurunan.