PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) membukukan laba bersih senilai Rp 5,91 triliun pada kuartal I 2021 atau menurun hingga 25,24% dibandingkan kuartal I 2020 yang sebesar Rp 7,91 triliun. Hal ini disebabkan biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau provisi yang tinggi.
Berdasarkan laporan keuangan Bank Mandiri, pendapatan bunga tercatat Rp 24,14 triliun atau tumbuh 1,83% dari Rp 23,7 triliun secara tahunan. Sementara itu, beban bunga perseroan diketahui Rp 6,65 triliun atau turun 18,56% dari Rp 8,17 triliun. Alhasil, bank pelat merah ini memperoleh pendapatan bunga bersih Rp 17,48 triliun atau naik 12,55% dari periode sama tahun lalu senilai Rp 15,53 triliun.
Sementara itu, pendapatan non-bunga Bank Mandiri (fee based income) tercatat senilai Rp 7,61 triliun atau turun 1,62% dari Rp 7,73 triliun secara tahunan. Maka, total pendapatan operasional bank milik pemerintah itu menjadi Rp 25,61 triliun atau naik 7,16% dari Rp 23,89 triliun secara tahunan.
Bank berlambang pita emas itu harus menanggung pembengkakan biaya operasional 14,55% menjadi Rp 11,48 triliun dari semula Rp 10,02 triliun. Dengan demikian, laba operasi sebelum provisi tercatat Rp 14,12 triliun atau tumbuh 1,8% dari sebelumnya Rp 13,87 triliun.
Di tengah pandemi Covid-19, Bank Mandiri meningkatkan CKPN atau provisi hingga 55,4% dari Rp 3,47 triliun menjadi Rp 5,4 triliun. Dengan biaya CKPN yang naik signifikan dibanding sebelum pandemi Covid-19, maka laba bersih Bank Mandiri ikut tergerus.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, pencadangan tersebut diperlukan sejalan dengan program restrukturisasi kredit yang dilakukan Bank Mandiri di tengah lesunya dunia bisnis karena pandemi Covid-19. Per Maret 2021, Bank Mandiri telah melakukan restrukturisasi terhadap 547 ribu debitur dengan nilai Rp 124,2 triliun.
"Tetapi, nilainya terhadap portofolio itu telah terjadi penurunan baki debet karena ada pembayaran dan lainnya, sehingga di akhir Maret 2021 posisi baki debet restrukturisasi tinggal Rp 94,5 triliun," kata Siddik dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (27/4).
Ia menjelaskan, dalam mengelola kredit restrukturisasi, bank berkode saham BMRI ini melakukan analisis dan modeling terhadap tingkat risiko debitur. Bank Mandiri membaginya menjadi 3 klasifikasi segmen yaitu, berisiko rendah, medium, dan tinggi.
Debitur dengan klasifikasi rendah diperkirakan mampu bertahan dan kembali normal setelah restrukturisasi. Sementara debitur dengan risiko medium membutuhkan bantuan restrukturisasi tahap kedua agar bisnisnya dapat bertahan. Sedangkan yang berisiko tinggi memiliki potensi untuk turun sehingga perlu penangan khusus agar tidak masuk ke kredit macet.
Dari total baki debet tersebut, ada 11% debitur yang saat ini masuk dalam risiko kredit macet atau non-performing loan (NPL) sehingga untuk antisipasi penurunan kualitas tersebut, Bank Mandiri masih melakukan peningkatan CKPN, lebih besar dari yang dipersyaratkan oleh regulator. Dari total baki debet restrukturisasi yang tersisa tersebut, sebesar 0,9% sudah masuk ke kredit macet.
Pada posisi Maret 2021, pencadangan yang dilakukan Bank Mandiri nilainya mencapai 10% dari total baki debet portofolio restrukturisasi pandemi. Sementara CKPN coverage untuk debitur restrukturisasi yang berisiko tinggi nilai yang dicadangkan mencakup 49,4%.
Siddik melanjutkan, dari total portofolio yang direkturisasi, sekitar 30%-40% membutuhkan bantuan berupa perpanjangan restrukturisasi. "Paling banyak membutuhkan perpanjangan restrukturisasi adalah sektor pariwisata, hotel, transportasi, dan properti," kata Siddik.
Kredit Bank Mandiri Tumbuh di Tengah Pandemi Covid-19
Di tengah pandemi Covid-19 dan ketidakpastian ekonomi, penyaluran kredit Bank Mandiri justru tumbuh 9,1% menjadi Rp 984,85 triliun pada kuartal I2021 dari penyaluran kuartal I 2020 yang senilai Rp 902,68 triliun.
Segmen kredit Bank Mandiri masih didominasi oleh segmen wholesale senilai Rp 513,9 triliun atau tumbuh 0,18% dari Rp 513,0 triliun secara tahunan. Sementara, kredit retail menurun 2,97% secara tahunan dari Rp 273,1 triliun menjadi Rp 265 triliun.
Meski begitu, penyaluran kredit pada perusahaan anak tumbuh signifikan yaitu 76,62% secara tahunan dari Rp 116,6 triliun menjadi Rp 205,9 triliun. Kenaikan penyaluran kredit pada perusahaan anak ini ditopang oleh pertumbuhan pembiayaan pada PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Total pembiayaan BSI pada kuartal I 2021 mencapai Rp 159,1 triliun atau naik 14,7%. BSI merupakan merger dari tiga bank syariah milik negara, yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah. Sehingga, total pembiayaan yang didapat, merupakan penjumlahan pembiayaan dari ketiga perusahaan tersebut.
Sementara itu, kualitas kredit Bank Mandiri mengalami penurunan, terlihat dari rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) kuartal I 2021 di level 3,15%, naik dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang ada di level 2,36%
Dari sisi pendanaan, Bank Mandiri mampu mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) senilai Rp 1.181 triliun atau mengalami pertumbuhan hingga 12,79% dari Rp 941,33 triliun. Tercatat, DPK Bank Mandiri mayoritas ditopang oleh dana murah (CASA).
Total giro di Bank Mandiri tercatat Rp 335,9 triliun atau naik 41,73% dari Rp 237 triliun secara tahunan. Lalu, tabungan senilai Rp 339 triliun atau tumbuh 10,69% dari Rp 306,3 triliun. Sementara, deposito Bank Mandiri tercatat mengalami penurunan 1,36% secara tahunan dari Rp 276,7 triliun menjadi Rp 272,9 triliun.