Satgas Waspada Investasi Blokir 62 Entitas Uang Kripto Ilegal

ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam Lumban Tobing memberikan kuliah umum untuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (30/10/2019).
17/6/2021, 20.15 WIB

Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Tobing mengatakan telah menutup 62 entitas uang kripto ilegal. Dia juga menekankan bahwa aset kripto bukan produk jasa keuangan, untuk itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara tegas melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan dan memasarkan produk aset kripto.

“Aset kripto juga punya sisi negatif. Sampai hari ini ada 62 entitas kripto yang kami tutup,” kata Tongam dalam seminar “Mengelola Demam Aset Kripto” secara daring, Kamis (17/6).

Ada oknum yang sengaja memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai aset kripto, termasuk menciptakan entitas-entitas yang merupakan penipuan.

Untuk itu, SWI terus mengedukasi masyarakat secara masif agar mengetahui dan memahami produk aset kripto. Apalagi, pemblokiran atau penghentian kegiatan 62 entitas aset kripto ilegal tersebut memiliki modus beragam.

Modus utama yang ditawarkan entitas ilegal yakni, menjanjikan keuntungan tetap (fixed return), misalnya 1% per hari hingga 14% per minggu. Entitas juga cenderung melakukan penawaran dengan skema piramida seperti multi level marketing (MLM).

“62 entitas menurut kami sangat banyak dan banyak juga masyarakat yang tergiur. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dengan menciptakan skema ponzi,” ujar Tongam.

Sebagai contoh, EDC Cash menyampaikan bahwa pihaknya sebagai komunitas yang melakukan aksi jual beli aset kripto. Di mana, para member dijanjikan mendapat hasil mining (penambangan aset kripto) 0,5% per hari atau sekitar 15% per bulan.

Namun yang terjadi, meskipun aset kriptonya ada, itu tidak dapat ditransaksikan atau tidak laku dijual karena tidak ada demand atau permintaan. Hal seperti itu diingatkan Tongam sebagai kegiatan-kegiatan penipuan.

Contoh penipuan selanjutnya terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan penawaran Lucky Best Coin (LBC). Masyarakat ditawarkan koin-koin dengan penghasilan 300% per tahun atau 25% per bulan. Mirisnya, member dari LBC adalah petani yang diimingi imbal hasil besar.

Tongam mengatakan, eksepektasi sebagian orang terhadap aset kripto adalah investasi dengan imbal hasil tinggi. Namun di sisi lain, bagi masyarkat yang tidak paham justru menjadi sasaran pelaku penipuan.

“Selain meregulasi perdagangan, upaya kami saat ini adalah mengedukasi secara masif jangan sampai masyarakat terjebak penipuan,” ujarnya.

Tongam mengingatkan, aset kripto bukan bagian dari produk jasa keuangan, sehingga tidak berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun regulasi yang mengatur perdagangan aset kripto berada di bawah Kementerian Perdagangan (Kemendag) karena dikategorikan sebagai komoditas.

Berdasarkan Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019, pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa aset kripto merupakan komoditi yang tidak berwujud dan berbentuk aset digital. Aset tersebut menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer dan buku besar yang terdistribusi atau dikenal blockchain. Proses kriptografi sendiri bertujuan untuk mengamankan proses transfer antar satu pihak ke pihak lainnya.