APBN Tak Cukup Biayai Penanganan Bencana, Perlu Bantuan Swasta

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.
Warga mengamati letusan Gunung Merapi dari pos pantau Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (21/6/2020).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
17/6/2021, 22.22 WIB

Kondisi geografis Indonesia yang rentan terhadap risiko bencana alam menyebabkan timbulnya kesenjangan antara alokasi dana pemerintah untuk membiayan risiko bencana alam dan kerugian ekonomi akibat bencana alam tersebut. Jadi, pemerintah diimbau menjalankan kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta atau public-private partnership (PPP).

Kementerian Keuangan sudah menganggarkan dana untuk menanggulangi bencana alam dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sayangnya, anggaran tersebut tidak cukup untuk membiayai kerugian ekonomi akibat bencana alam.

Berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, pemerintah rata-rata mengalokasikan dana cadangan bencana sebesar Rp 3,1 triliun pada periode 2005-2017. Namun, rata-rata kerugian ekonomi langsung akibat bencana pada periode tersebut mencapai Rp 22,8 triliun. Artinya, terdapat kesenjangan pembiayaan Rp 19,75 triliun atau 78%.

"Pemerintah sudah cukup baik. Masalahnya adalah kapasitas pemerintah untuk menanggulangi bencana itu terbatas. Meski (anggaran) besar tapi kebutuhannya banyak," ujar Peneliti Departemen CSIS Deni Friawan dalam webinar Katadata 'Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana Alam' yang digelar pada Kamis (17/6).

Oleh karena itu, Deni menilai perlu ada sumber-sumber pembiayaan lain yang berasal dari luar anggaran negara. Salah satu cara menanggulangi kesenjangan tersebut, yakni melalui PPP. 

"Pembentukan PPP dapat mengoptimalkan kualitas pelayanan publik untuk pengelolaan risiko bencana yang lebih integratif dan inovatif, baik secara layanan maupun keuangan," kata Deni.

Menurutnya, terdapat berbagai variasi model PPP yang bisa diterapkan untuk pengelolaan risiko bencana, salah satunya kemitraan berbentuk organisasi, baik formal maupun informal, yang saling berbagi keuntungan dan risiko.

Model pembiayaan risiko bencana yang dapat digunakan ialah kemitraan non-pasar, yakni sukarela (voluntary), swadaya masyarakat, sumbangan, dan lainnya. Sedangkan untuk skema menggunakan kemitraan pasar, yakni melalui asuransi atau obligasi.

"Kita perlu membangun sebuah sistem penanggulangan bencana yang lebih integratif," jelasnya.

Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Kementerian Keuangan Heri Setiawan mengatakan, pemerintah menganggarkan APBN pada setiap situasi kejadian bencana, baik prabencana, saat tanggap darurat, maupun pascabenacna.

Ia menjelaskan, sumber pendanaan prabencana dialokasikan dari anggaran di kementerian dan lembaga terkait. Kegiatan pada fase ini seperti pencegahan, kesiapsiagaan, simulasi dan research & development.

Saat situasi tanggap darurat, seperti evakuasi, pencarian korban, pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun penanganan pengungsian, pemerintah menggunakan dana dari dana cadangan dana siap pakai (DSP).

Sedangkan saat pascabencana yang meliputi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah menganggarkan dana dari alokasi atau relokasi anggaran di kementerian dan lembaga. Lalu juga memberikan hibah kepada pemerintah daerah setempat.

Heri mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah menaikkan anggaran setiap tahun dalam APBN. Tetapi kalau bencana besar, anggaran itu tidak cukup karena Indonesia luas dan jenis bencananya banyak.

"Kalau (bencana alam terjadi) berbarengan dan besar, APBN tidak cukup," katanya.

Heri menambahkan, pemerintah telah merilis strategi dan kebijakan pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Salah satu strategi yaitu dengan implementasi bauran instrumen Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB).

Strategi lainnya, pemerintah menyerap risiko bencana untuk porsi tertentu, eksplorasi potensi pinjaman siaga (contingent loans), pendirian pooling fund berencana, dan implementasi skema risk transfer asuransi.

"Untuk skala kebutuhan yang besar, tidak mungkin pemerintah saja. Ada keterlibatan masyarakat, misal untuk properti dan kesehatan yang harus menyiapkan juga mitigasi," ujarnya.

Direktur Humanitarian & Emergency Affairs, Wahana Visi Indonesia, Margaretha Siregar mengatakan pembiayaan risiko bencana di Indonesia penting. Pasalnya, melihat data, terdapat lebih 1.400 kali kejadian bencana di Indonesia sepanjang tahun berjalan 2021.

"Kami sudah melihat ada sekian banyak pengungsi atau orang yang harus dievakuasi akibat bencana tersebut. Belum lagi melihat betapa banyak kerugian baik material maupun immaterial yang terjadi akibat bencana ini," katanya.

Ia menambahkan, tingginya risiko bencana tersebut membutuhkan inovasi pembiayaan risiko bencana. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merumuskan apa saja yang perlu dilakukan atau direkomendasikan terkait bencana dan rehabilitasinya.

Hal itu harus ditindaklanjuti hingga level masyarakat sebagai pihak penerima manfaat dari pembiayaan risiko bencana. Ia menambahkan, yang perlu diperhatikan adalah perlindungan sosial adaptif masyarakat untuk antisipasi dan mitigasi bencana.

Hal lainnya adalah terkait masalah administratif dalam menjangkau kelompok khusus antara lain penyandang disabilitas maupun penduduk lansia yang rentan miskin.

Reporter: Ihya Ulum Aldin