Harga Bitcoin (BTC) sukses menyentuh level tertinggi US$ 44.759 pada Minggu (8/8). Harga mata uang kripto dengan kapitalisasi terbesar itu menyentuh level tertingginya sejak 18 Mei 2021.
Melansir Coindesk Jumat (6/8), CEO Delta Exchange Pankaj Balani memperkirakan harga Bitcoin berpeluang menuju level US$ 48.000 per btc. Syaratnya, harga Bitcoin mampu bertahan di atas US$ 40.000 dalam sepekan ke depan.
“Setelah di atas US$ 43.000, harga Bitcoin akan menghadapi resistensi baru pada tingkat harga US$ 45.000 dengan dukungan lebih lanjut ke level US$ 50.000 yang sudah ada,” kata Founder dan CEO Banz Capital John Iadeluca dilansir dari Forbes, pekan lalu (6/8).
Sedangkan Founder Fairlead Strategies LLC Katie Stockton menilai jika tren terus melanjutkan peningkatan, Bitcoin berpeluang menyentuh level resistance baru mendekati US$ 51.000.
Secara teknikal, indikator harga Bitcoin berpotensi mengejar tren kenaikan besar-besaran ke depan. Salah satunya tampak pada indikatot Glassnode's Entry-Adjusted Net Unrealized Profit/Loss (NUPL) atau prediksi jumlah keuntungan atau kerugian.
Angka NUPL di atas nol menunjukkan harga berada dalam keadaan laba bersih. Sedangkan, nilai di bawah nol menunjukkan keadaan rugi bersih. Semakin jauh NUPL menyimpang dari nol, maka semakin membantu investor melihat puncak dan dasar pasar.
Pada Oktober 2020, Bitcoin NUPL bergerak di atas batas nol. Setelah berhasil memantul dari zona merah pada Maret 2020, harga bergerak di kisaran US$ 10.000 menjadi kisaran US$ 65.000 per btc. Untuk selanjutnya, Bitcoin turun dan awet di kisaran US$30.000.
Market Analyst Will Clemente mencatat, pemilik atau investor Bitcoin jangka pendek cenderung menjual kepemilikan Bitcoin mereka kepada investor jangka panjang.
“Investor jangka panjang sekarang memiliki lebih dari 66% pasokan, jangka pendek turun hampir 20%. Sebelum Oktober 2020, pasokan investor jangka panjang lebih dari 68%," kata Clemente, dikutip dari Coin Telegraph, Sabtu (7/8).
Naiknya harga Bitcoin ini terjadi di tengah pertempuran legislatif Amerika Serikat (AS) dalam merancang ketentuan pajak mata uang kripto yang memberatkan rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur AS.
Melansir Euronews Jumat (6/8) Senat AS mengalami kebuntuan untuk meloloskan RUU infrastruktur bernilai hampir $1 triliun (Rp 14.500 triliun) tersebut. Terjadi perdebatan sengit terkait pajak cryptocurrency.
RUU infrastruktur AS rencananya akan menyuntikkan miliaran pengeluaran baru untuk jalan, jembatan, saluran air, broadband, dan proyek lainnya ke hampir setiap sudut Negeri Paman Sam. Namun, salah satu amandemen justru melibatkan cryptocurrency.
Lembaga penghimpun pajak atau Internal Revenue Service (IRS) AS mencatat, teknologi kripto telah menghimpun sekitar $28 miliar (Rp 406 triliun) selama 10 tahun dari pialang cryptocurrency. Seperti halnya pialang saham melaporkan penjualan pelanggan mereka ke IRS.
Senator Republik Pat Toomey dan lainnya khawatir bahwa penambang kripto, pengembang perangkat lunak, dan lainnya akan tunduk pada persyaratan pelaporan IRS yang baru.
"Jika kita tidak mengadopsi amandemen ini, maka kita bisa melakukan banyak kerusakan. Kita bisa memiliki efek yang sangat mengerikan," kata Toomey dilansir dari Euronews.
Melansir CoinMarketCap hari ini (8/8) pukul 15.10 WIB, harga bitcoin naik 4,11% ke level US$ 45.010 per btc. Adapun level tertinggi yang disentuh dalam 24 jam terakhir yakni US$ 45.282 per btc.
Sebelumnya, Pengamat aset kripto dan Editor Senior Republik Rupiah, David Setiawan optimistis industri aset kripto masih berada dalam tren bullish (meningkat). Menurut dia, Bitcoin dan Ethreum bisa menjadi pertimbangan pilihan koin kripto ke depan, mengingat kapitalisasi pasar kedua aset tersebut merupakan yang terbesar.
Pasokan Bitcoin yang hanya dibatasi 21 juta, menjadikan koin yang satu ini memiliki fundamental yang cukup baik. Seperti rumus ekonomi, saat permintaan meningkat dan pasokan terbatas maka harga akan mengalami kenaikan.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)