Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan tiga peraturan terbaru. Dua beleid terkait bank umum yang menyantumkan definisi bank digital, sementara satu peraturan lain terkait lembaga jasa keuangan secara keseluruhan.
Ketiga aturan itu antara lain, POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, dan POJK No. 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum. Selain itu, POJK No. 14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No. 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
Dalam salah satu aturannya, OJK mempertegas pengertian Bank Digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus bank digital menyeluruh atau full digital banking.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, dalam aturan tentang bank umum, OJK memperjelas definisi Bank Digital.
"Namun tidak mendikotomikan antara bank yang telah memiliki layanan digital, bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank). Bagaimanapun bank tetaplah bank, bank is bank,” kata Heru dalam sesi webinar, Kamis (19/8).
Menurut dia, dua peraturan perbankan pada dasarnya bukan memberikan beban baru pada industri perbankan nasional, melainkan memberikan landasan lebih baik dalam menjalankan bisnis. Hal ini terutama di tengah pandemi Covid-19.
"Supaya mereka (perbankan) cepat mengakselerasi perbankan digitalnya. Juga kami akan mempertegas pengertian bank digital," kata Heru.
Dalam POJK 12 Tentang Bank Umum, ditujukan untuk memperkuat aturan kelembagaan mulai dari persyaratan pendirian bank baru, aspek operasional, sampai pengakhiran usaha. Antara lain, penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank dan jaringan kantor, peningkatan modal bagi pendirian bank baru, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital atau pendirian bank digital.
Selain itu, dalam POJK 12 juga akan mendorong percepatan transformasi dan akselerasi digital, serta mempertegas pengertian bank digital. "Bank-bank yang akan menjadi bank digital, akan mentransformasikan layanan menjadi digital akan menjadi jelas dalam POJK 12," ujarnya.
Heru menilai, POJK 12 bisa mendukung dan mempertegas konsolidasi perbankan melalui sinergi perbankan, khususnya bank berbadan hukum Indonesia. Tujuannya untuk mendukung efisiensi dan optimalisasi sumber daya bank dan lembaga jasa keuangan lain dalam kelompok usaha bank serta memperluas layanan.
Beleid ini akan memperkuat sinergi antara bank induk dan anak, antara bank induk dengan bank syariahnya atau unit usaha syariahnya (UUS). "Kemudian akselerasi mengenai konsolidasi juga akan kami atur di sana," kata Heru.
Sementara itu, dalam POJK Nomor 13 Tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, diatur terkait penguatan perizinan dan penyelenggaraan produk bank. Sebelumnya perizinan menggunakan pendekatan modal inti (capital based approval) menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approval).
POJK ini juga mengatur mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, hingga penghentian produk bank. Beleid memberi ruang inovasi bagi bank umum untuk memenuhi tuntutan dan ekspektasi masyarakat akan produk bank sesuai dengan kebutuhannya.
Hal ini dilakukan untuk mengakselerasi transformasi digital dengan memberi ruang kepada bank untuk lebih inovatif dalam menerbitkan produk dan layanan digital, tanpa mengabaikan aspek prudensial. Ini diharapkan bisa mendukung efisiensi ekonomi dan inklusi keuangan.
POJK 13 bertujuan untuk percepatan perizinan produk bank melalui penyederhanaan klasifikasi produk dan penyelenggaraanya. Sehingga tercipta ruang persaingan yang sama dengan industri perbankan, serta mendukung waktu pemasaran produk bank yang lebih cepat.
"Jadi artinya, bagaimana nanti kami akan mengakselerasi transformasi digital, kalau bank nanti akan menerbitkan produk, tidak semuanya perlu izin OJK," kata Heru.
Produk-produk yang sifatnya dasar silahkan bank lakukan. Tapi, produk-produk lanjutan, OJK akan mengenalkan produk piloting. Sebelum dirilis secara resmi kepada masyarakat, OJK minta bank untuk melakukan piloting kepada masyarakat terbatas atau untuk pegawainya dulu. Jika tidak ada keluhan, produk bisa diluncurkan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan ketiga POJK ini diterbitkan untuk menyesuaikan kebutuhan seiring kondisi dinamika global, perubahan lanskap dan ekosistem perbankan.
"Ini upaya mendorong industri jasa keuangan, khususnya perbankan lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat," ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Kamis (19/8).
Menurut Wimboh, aturan ini menjawab tantangan dan tuntutan pesatnya perkembangan teknologi informasi, sehingga diperlukan penerapan pola pengaturan berbasis prinsip agar peraturan dapat lebih fleksibel, dan mengantisipasi perubahan ke depan.
Aturan Lembaga Jasa Keuangan
POJK No. 14/POJK.03/2021 POJK berlaku untuk sektor perbankan, industri keuangan nonbank dan pasar modal. Ini merupakan amandemen dari POJK No. 34/POJK.03/2018 mengenai Penilaian Kembali bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Amandemen tersebut menitikberatkan upaya penanganan permasalahan LJK melalui penambahan cakupan permasalahan serta upaya dalam percepatan penanganan permasalahan. Dengan demikian, LJK dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Salah satunya, mencakup aspek integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan atau kompetensi.
Beberapa penambahan ketentuannya antara lain: Pertama, cakupan penilaian kembali pihak utama, termasuk sanksi larangan tidak lulus. Kedua, percepatan proses dalam tahapan penilaian kembali pihak utama dan permintaan tanggapan dari pihak utama dapat kurang dari 10 hari kerja.
Ketiga, pihak utama yang tidak lulus dalam penilaian kembali diperlakukan sebagai pihak terkait sesuai aturan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) dan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan (BMPP).