PT Bank Permata Tbk (BNLI) berkomitmen untuk menambah porsi kepemilikan saham publik hingga memenuhi ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI) minimal 7,5%. Saat ini, publik hanya memiliki 1,29% saham di Bank Permata, setelah Bangkok Bank Public Company Limited mengakuisisi saham perusahaan dan melakukan tender wajib.
"Memang saat ini saham publik 1,29%. Hal itu disebabkan karena pada Oktober 2020, pemegang saham kami melakukan mandatory tender offer (penawaran saham) sebagai tindak lanjut atas akuisisi 89,12% kepemilikan atas Bank Permata," kata Direktur Keuangan Bank Permata Lea Kusumawijaya dalam paparan publik, Selasa (14/9).
Lea mengatakan, dalam kurun waktu dua tahun setelah akuisisi dilakukan, Bangkok Bank memang wajib memenuhi aturan lembar saham minoritas yang beredar atau free float tersebut. Ia mengatakan Bangkok Bank berkomitmen untuk menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi 89% dari yang saat ini 98,71%.
Dengan demikian, Lea menegaskan, Bank Permata tidak ada rencana untuk menghapus pencatatan saham atau delisting dari BEI. "Kami tentunya akan memenuhi ketentuan minimum sesudah penyelesaian free float dari saham yang kemarin dibeli oleh Bangkok Bank. Jadi tidak ada rencana untuk go private (menjadi perusahaan tertutup) untuk saat ini," kata Lea.
Seperti diketahui, pertengahan tahun lalu, Bangkok Bank menyelesaikan transaksi akuisisi Bank Permata dari PT Astra International Tbk dan Standard Chartered Bank masing-masing dengan kepemilikan 44,56%. Nilai akuisisinya diperkirakan mencapai Rp 37,43 triliun.
Setelah menjadi pemegang saham pengendali, Bangkok Bank diwajibkan untuk melakukan tender offer kepada pemegang saham lainnya. Pengendali baru tersebut melakukan tender wajib pada akhir Agustus 2020 dengan harga penawaran Rp 1.347 per saham.
Pada semester I-2021, Bank Permata berhasil membukukan laba bersih Rp 639 miliar atau tumbuh 74,3% dari Rp 366 miliar pada periode sama tahun lalu. Kenaikan laba bersih tersebut, sejalan dengan naiknya pendapatan dari seluruh segmen, yaitu ritel, wholesale, dan syariah.
"Ini merupakan prestasi yang cukup memuaskan mengingat kondisi perekonomian yang belum terlalu kondusif," kata Lea.
Rasio net interest margin Bank Permata per Juni 2021 ada di level 4,4%. Angka tersebut tidak terlalu berfluktuasi dibandingkan periode sama tahun lalu di level 4,5%. Lea mengatakan, NIM sedikit mengalami penurunan sejalan dengan penurunan benchmark suku bunga yang digariskan oleh regulator.
Bank Permata juga mampu melakukan efisiensi yang tercermin dari penurunan rasio biaya terhadap pendapatan (cost to income ratio) yang pada Juni 2020 di level 57,5% menjadi 52,7% per Juni 2021. Salah satu faktor yang menurunkan biaya tersebut adalah upaya digitalisasi Bank Permata.
"Bagaimana kami mencapai penurunan ini karena memang dengan adanya transaksi yang sekarang bisa dilakukan melalui platform digital, tentu menumbuhkan efisiensi kegiatan operasional bank," kata Lea.
Dari sisi kredit, Bank Permata mampu menyalurkan pinjaman Rp 120,8 triliun sepanjang semester I-2021 atau mengalami peningkatan hingga 16,6% secara tahunan dari Rp 103,7 triliun. Sektor yang tumbuh adalah wholesale, dari Rp 52,7 triliun menjadi Rp 73,7 triliun.
Sementara itu, penyaluran kredit kepada sektor retail mengalami penurunan dari Rp 48,4 triliun menjadi Rp 44,2 triliun. Lea menjelaskan, sektor ini cukup menantang di tengah pandemi Covid-19 terutama untuk penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Rasio kredit seret alias non-performing loan (NPL) Bank Permata per Juni 2021 mencapai 3,3%. Level tersebut turun dibandingkan periode sama tahun lalu di level 3,7%. Tapi, jika dibandingkan Desember 2020, NPL tercatat naik dari 2,9%.
"Rasio NPL dengan adanya pandemi, risiko kredit inheren secara umum meningkat ini bukan hanya dialami Permata tapi juga industri perbankan pada umumnya," kata Lea.