Perkembangan teknologi di industri perbankan hingga melahirkan bank digital, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, merupakan keniscayaan. Meski begitu, ada sejumlah faktor yang bisa membuat bank digital gagal dalam mengembangkan bisnisnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, salah satu faktor yang akan membuat sebuah bank digital gagal adalah kekalahan dalam kompetisi digital itu sendiri. "Kegagalan mereka berkompetisi, karena pada akhirnya bisnisnya kan tetap bisnis bank," katanya dalam dalam acara Jago Bootcamp 2021 di Canggu, Bali, Kamis (28/10).
Piter mengatakan, ketika masyarakat sudah bertransformasi digital, bank harus memenuhi kebutuhan digital masyarakat. Artinya, perubahan ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihentikan. "Semua bank akan menjadi bank digital, tapi tidak semua bank akan bertahan," katanya.
Ia yakin akan ada bank digital yang gagal karena akan bersaing dalam layanan digital. Kegagalan yang mungkin terjadi salah satunya adalah kesalahan manajemen, karena di belakang bank digital tetap ada manusia yang menjalankannya.
"Begitu juga kegagalan bank digital di dalam mengembangkan produk yang bisa menyebabkan mereka kalah bersaing," katanya.
Era persaingan bank di tengah digitalisasi mengalami perubahan, yakni terkait strategi bank dalam mengembangkan bisnis layanan digital dengan cara memperluas jaringan, dan memperluas ekosistem digital. Dulu, bank berlomba untuk membuka kantor cabang dan mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Keberadaan kantor cabang dan ATM dinilai akan menjadi beban bagi industri perbankan digital, jika tidak dimanfaatkan dengan maksimal. "Aset itu menanggung beban. Misal punya kantor cabang ada lahan tanah, itu sudah bayar pajak dan biaya perawatan. Kalau tidak menghasilkan, itu jadi beban," katanya.
Piter mengatakan aset-aset yang dimiliki bank, seperti kantor cabang, tidak lagi digunakan di era digital karena tidak terbatas oleh ruang. Jika masih memiliki aset berupa kantor cabang, salah satu solusinya adalah dengan menyewakan atau menjual aset.
Persaingan untuk memperebutkan pasar bank digital di Tanah Air akan ketat dalam beberapa tahun ke depan. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja memperkirakan hanya tiga bank digital yang akan menguasai pasar dan bertahan dalam 10 tahun ke depan.
"Pasar akan memfilterisasi dan menentukan siapa yang dapat memimpin pasar. Cina dengan jumlah penduduk 1,4 miliar hanya 1-2 bank digital yang unggul. Indonesia mungkin 10 tahun dari saat ini, hanya akan ada tiga bank digital," kata Jahja dalam Webinar Banking Outlook 2021, Selasa (7/9).
Jahja menjelaskan, tak banyak bank digital yang akan memperoleh ceruk pasar sehingga mampu bertahan dalam jangka panjang. Pasalnya, bank-bank digital yang kini banyak dibentuk atau ditransformasikan dari bank yang sudah ada, memperebutkan pasar yang sama.
"Di Cina saat ini ada WeBank, Korea Selatan ada Kakao Bank, dan Jepang ada Rakuten Bank. Berapa banyak yang bisa seperti mereka di negaranya?" ujar Jahja.
Filterisasi oleh pasar ini, menurut Jahja, juga sudah terjadi pada perbankan konvensional. Pada 1988, menurut dia, ada lebih dari 200 bank umum. Namun, kini hanya tersisa sekitar 100 bank. "Hanya 20 bank yang saat ini memimpin pasar," kata dia.