Raksasa Teknologi Berebut Akuisisi Bank, Apa Untungnya bagi Industri?

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Ilustrasi. Warga menunjukan sejumlah aplikasi berbelanja daring yang ada di telepon pintarnya di Pos Block, Jakarta, Jumat (19/11/2021).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
23/11/2021, 14.30 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada enam perusahaan teknologi berkapasitas jumbo yang saat ini memiliki bank mini. Langkah akuisisi ini bahkan sudah dimulai sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.

Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan OJK Inka Yusgiantoro mengatakan keuntungan perusahaan teknologi memiliki bisnis bank yaitu bisa meningkatkan skala bisnisnya, terutama di sistem pembayaran. "Juga mungkin dalam rangka mewujudkan ekosistem digitalnya," kata Inka dalam sesi webinar yang dikutip Selasa (23/11).

Sedangkan keuntungan dari sisi bank dengan masuknya raksasa teknologi yaitu dapat mempercepat proses digitalisasi di internal bank. Selain itu, bank mendapatkan keuntungan karena modalnya diperkuat dengan investor baru tersebut.

Senior Vice President Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial mengatakan, banyak keuntungan dari maraknya aksi korporasi tersebut. Salah satunya dengan meningkatkan inklusi keuangan di masyarakat Indonesia.

Dengan masuknya teknologi, bank bisa mencapai masyarakat yang jasa keuangannya masih underbanked alias yang sudah punya akun di bank, namun minim pelayanan. Selain itu, masih banyak masyarakat yang unbanked atau yang belum punya akun di bank sama sekali.

"Pasarnya sekitar 70 %, kombinasi antara underbanked dan unbanked. Jadi ini adalah pasar yang sangat besar," kata Janson kepada Katadata.co.id, Selasa (23/11).

Meski begitu ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan seperti penilaian kredit yang harus lebih fleksibel. Ia menilai, bank tidak perlu infrastruktur yang memadai seperti pembangunan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) secara menyeluruh.

Janson menilai, nasabah di Indonesia masih perlu edukasi keuangan, baik segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun individual. "Sehingga konsumen pun tidak berlebihan dalam hal peminjaman," kata Janson.

Startup teknologi finansial pembiayaan alias fintech lending, Akulaku atau PT Akulaku Silvrr Indonesia resmi menjadi pemegang saham pengendali PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) sejak 19 November 2021. Akulaku memiliki 1,8 miliar atau setara 24,9 % saham bank tersebut.

Langkah Akulaku membeli saham Bank Neo Commerce sebenarnya sudah dimulai sejak Maret 2019. Akulaku mengakuisisi 5,2 % saham bank yang kala itu bernama Bank Yudha Bhakti. Akulaku menambah porsi 14,24 % usai proses private placement.

Perusahaan teknologi lain yang memiliki saham bank adalah PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia milik bankir Jerry Ng dan Wealth Track Technology Limited milik pebisnis Patrick Walujo. Keduanya mengakuisisi saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang dulu bernama Bank Artos pada 26 Desember 2019.

Selang satu tahun, giliran PT Dompet Karya Anak Bangsa (Go-Pay) yang berinvestasi pada saham Bank Jago. Tak lama setelahnya, lembaga pengelola investasi atau sovereign wealth fund (SWF) terbesar milik Pemerintah Singapura, GIC Private Limited ikut menyuntikan dana ke Bank Jago.

Per akhir Oktober 2021, komposisi pemegang saham Bank Jago yaitu Metamorfosis Ekosistem Indonesia punya 29,8%, Go-Pay memiliki 21,4%, Wealth Track Technology Limited memiliki 11,68%, lalu GIC Private Limited punya 9,11%, dan sisa 27,98% dimiliki masyarakat.

PT FinAccel Teknologi Indonesia, pengelola fintech peer to peer lending Kredivo ikut meramaikan akuisisi bank. Sejak 21 Mei 2021, Kredivo menjadi pemegang 24 % saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) dengan menggelontorkan Rp 551,31 miliar.

Pada 15 Oktober 2021, Kredivo menambah porsi kepemilikannya di Bank Bisnis Internasional dengan mengakuisisi 16 % saham senilai Rp 439,69 miliar. Artinya, Kredivo kini memiliki 40 % saham bank tersebut alias menjadi pengendali baru.

Pemegang saham lain Bank Bisnis Internasional adalah Sundjono Suriadi yang menggenggam 20 % saham, PT Sun Land Investama memiliki 13,2 %, PT Sun Antarnusa Investment punya 10,5 %, dan sisanya dimiliki masyarakat sebanyak 16,3 %.

Sea Group, juga masuk ke industri perbankan melalui kepemilikan PT Bank Seabank Indonesia atau yang dulu bernama Bank Kesejahteraan Ekonomi. Induk Shopee yang berbasis di Singapura tersebut punya saham bank melalui PT Danadipa Artha Indonesia.

Porsi kepemilikan Sea Group di Seabank mencapai 97,25 %, sementara sisa saham 2,75% dimiliki PT Koin Investama Nusantara.

Tidak sampai di situ, beredar kabar di kalangan bankir, OJK meminta investor baru yang membeli mayoritas saham bank di atas ketentuan harus bersedia membeli lebih dari satu bank. Tujuannya untuk mempercepat konsolidasi dan merampingkan jumlah bank.

Sea Group pun sempat dikabarkan menambah koleksi sahamnya dengan mengakuisisi PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK). Kabar lain beredar, Sea Group akan ikut dalam proses akuisisi PT Bank Mayora oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Terbaru, perusahaan teknologi PT Takjub Finansial Teknologi (Ajaib) resmi memiliki 24% atau 554,4 juta saham PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA). Ajaib memiliki Bank Bumi Arta melalui rekening efek PT Ajaib Sekuritas Asia.

Berdasarkan keterbukaan informasi, Jumat (19/11), Ajaib masuk ke Bank Bumi Arta dengan membeli sebagian saham pemegang lama di harga Rp 1.345 per lembar. Artinya, Ajaib menggelontorkan dana Rp 745,66 miliar untuk membeli saham tersebut.

Selain Ajaib, saham Bank Bumi Arta dimiliki PT Surya Husada Investment sebanyak 33,5%, PT Dana Graha Agung memiliki 20,07%, PT Budiman Kencana Lestari mengoleksi 13,38 %, dan sisanya 9,1 % saham dimiliki masyarakat.

Perusahaan raksasa teknologi lain yang akan terjun di bisnis bank adalah PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Memang belum resmi, tapi Emtek sudah menyampaikan rencana akuisisi 9,08 miliar unit saham atau setara 93 % saham PT Bank Fama International. Aksi korporasi tersebut dilakukan melalui anak usaha Emtek yakni PT Elang Media Visitama (EMV).

Berdasarkan ringkasan rencana pengambilalihan, Emtek akan membeli saham Bank fama dari empat pihak, yaitu dari Junus Jen Suherman sebanyak 4,42 miliar unit saham, dari Edi Susanto 1,7 miliar saham, Dewi Janti 1,7 miliar saham, dan dari PT Surya Putra Mandiri Sejahtera sebanyak 1,25 miliar saham.