Baru 21 Bank Sediakan BI Fast, ASPI Sebut Biaya Persiapan Mahal

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. BI mencatat baru 21 dari 128 bank yang terdaftar sebagai peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang telah menyelenggarakan BI Fast.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
27/1/2022, 17.36 WIB

Bank Indonesia telah meluncurkan sistem pembayaran ritel baru BI Fast sudah diluncurkan sejak pertengahan bulan lalu. Kendati demikian, baru sebagian kecil dari industri perbankan yang terlibat  dalam implementasi tahap pertama, terutama karena biaya persiapan infrastruktur yang cenderung mahal.

Pada peluncuran tahap awal BI-Fast, baru terdapat 21 peserta yang mulai mengimplementasikannya. Ini hanya sebagian kecil dari sekitar 128 bank yang terdaftar sebagai peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

"Biayanya tergantung banknya, masing-masing bank berbeda-beda, saya bilang yang mahal itu bisa sampai Rp 30 miliar. Saya tidak lihat bawahnya ya, masing-masing bank berbeda," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Djamin Edison Nainggolan dalam diskusi virtual 'Welcoming Indonesia New Payment System' yang digelar Dell Technologies bersama Katadata.co.id, Kamis (27/1).

Djamin menjelaskan, biaya tersebut baru mencakup pembangunan infrastruktur sistem, meliputi penyediaan hardware, software dan jaringan komunikasi data. Padahal, menurut dia, peserta BI-Fast juga perlu mempersiapkan berbagai kanal kepada nasabah, seperti penyediaan melalui mobile banking, internet banking, maupun transfer dengan ATM.

"Selain itu, juga ada biaya operasional karena kalau ada fraud detection system. Okelah kita pakai robot, tetapi untuk mengambil tindakan itu tetap keputusannya kadang-kadang harus manusia," kata Djamin.

Di samping tantangan oleh biaya penyediaan infrastruktur yang mahal, menurut dia, masih banyaknya perbankan yang belum bergabung dengan BI-Fast karena kondisi nasabahnya. Beberapa perbankan kemungkinan memiliki nasabah yang belum memiliki edukasi yang cukup baik dengan sistem digitalisasi.

"Mungkin bank itu mencoba untuk bersolek dengan digitalisasi tapi malah ditinggalkan nasabahnya, jadi tingkat kesiapan bank itu berbeda-beda," kata dia.

Meski demikian,  perbankan harusnya melihat adanya peluang model bisnis baru dengan peluncuran BI-Fast ini. Hal ini karena biaya BI-Fast yang lebih murah dibandingkan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) sehingga sangat relevan jika nasabah melakukan transfer dana lebih intens.

Ia mencontohkan, sistem yang lama kemungkinan tidak akan menjadi masalah jika nasabah hanya membutuhkan transfer dana sekali atau beberapa kali dalam sebulan. Namun berbeda bagi nasabah yang perlu mengirim uang lebih sering misalnya sehari sekali, akan mendapatkan biaya yang lebih murah.

"Itu teknologi-teknologi baru yang sifatnya bisa membedakan pengalam nasabah antara Bank A dengan bank B, atau non-Bank A dengan non-bank B," kata Djamin. 

Senada dengan Djamin, Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital INDEF Nailul Huda juga mengatakan, kehadiran BI-Fast menjadi pemenuhan terhadap cepatnya digitalisasi yang kini telah memangkas biaya termasuk untuk transfer dana. Ini tentu akan menciptakan efisiensi bagi nasabah.

Ia mengatakan, BI-Fast bahkan mulai dibandingkan dengan adanya Fintech platform pembayaran Flip yang hadir lebih dulu dan  menawarkan biaya transfer lebih murah dari tarif BI-Fast.

"Indonesia bisa lebih hemat apabila transfer bank lebih murah dari Rp 6,500 menjadi Rp 2.500. Biaya Rp 2.500 itukan tarif fintech payment untuk  transfer ke bank, jadi ini reaksi bagus dari BI yang bisa menciptakan paying off yang sama antara perbankan dengan fintech pembayaran," kata Huda.

BI-Fast resmi meluncurkan pada Selasa (21/12). Pada tahap awal ini, terdapat 21 perbankan yang berpartisipasi sebagai peserta, terdiri atas 15 peserta langsung dan 6 peserta tidak langsung. BI menyebut kepesertaannya akan terus ditambah setiap enam minggu atau implementasi tahap kedua akan diumumkan akhir bulan ini. 

Reporter: Abdul Azis Said