Bank of America Sebut Kemungkinan AS Hadapi Resesi Tahun Depan

ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato
Pejalan kaki terpantul di kaca layar elektronik menunjukkan nilai tukar mata uang yen Jepang dengan dolar AS, euro, dan dolar Australia, Indeks Pasar Dow Jones dan pasar saham lainnya di depan bursa saham di Tokyo, Jepang, Selasa (6/8/2019).
Penulis: Abdul Azis Said
20/6/2022, 09.18 WIB

Raksasa jasa keuangan Amerika Serikat, Bank of America (BofA) memperkirakan ada kemungkinan 40% ekonomi AS bakal menghadapi resesi pada tahun depan. Prediksi ini menyusul perkiraan sejumlah ekonom yang lebih dulu meramalkan hal serupa.

Ekonom BofA Securities memperkirakan pertumbuhan PDB AS melambat, menjadi hampir 0% atau stagnan pada paruh kedua tahun depan. Kondisi ini disebabkan pasar keuangan yang lebih ketat, sehingga perekonomian melambat. Sementara, mereka melihat rebound akan terjadi secara 'moderat' pada 2024.

"Ketakutan terburuk kami terkait The Fed telah terkonfirmasi, mereka (perekonomian) jatuh jauh di bawah kurva," kata Ekonom Global BofA Ethan Harris dikutip dari Reuters, Senin (20/6).

Meski demikian, mereka melihat risiko resesi pada perekonomian AS untuk tahun ini rendah. Adapun mereka memperkirakan inflasi masih akan tinggi pada tahun depan. Dengan demikian, The Fed diramal bisa menaikkan bunga acuannya menjadi lebih dari 4%.

Survei yang dilakukan oleh Financial Times bersama Universitas Chicago terhadap 49 ekonom akademisi terkemuka menunjukkan hampir 70% dari mereka memperkirakan ekonomi AS akan jatuh ke jurang resesi pada tahun depan. 

Survei tersebut menunjukkan 38% dari para ekonom yang disurvei memperkirakan resesi terjadi pada paruh pertama, sementra 30% memperkirkn resesi berlangsung pada paruh kedua. Sementta, sepertiga dari mereka juga memperkirakan resesi kemungkinan baru terjadi pada 2024. Hanya satu ekonom yang memperkirakan resesi terhad pada akhir tahun ini atau lebih cepat.

Hasil survei tersebut berkebalikan dengan pandangan The Fed yang memperkirakan kenaikan suku bunga acuan dapat meredam permintaan tanpa menyebabkan kerugian ekonomi yang substansial.

The Fed sebelumnya memperkirakan akibat kenaikan bunga, maka pengusaha di pasar tenaga kerja akan memilih mengurangi penyerapan tenaga kerja baru dibandingkan memberhentikan pekerja yang ada. Hal ini pada gilirannya diharapkan dapat mendinginkan kenaikan upah pekerja.

Gubernur The Fed juga mengakui bahwa upaya bank sentral memoderasi inflasi dapat menyebabkan beberapa rasa sakit bagi perekonomian. Hal ini akan mengarah kepada pendaratan yang 'lembut', dengan melihat tingkat pengangguran mungkin akan sedikit meningkat.

Namun, banyak ekonom yang disurvei khawatir tentang hasil yang lebih buruk. Hal ini mengingat parahnya situasi inflasi dan fakta bahwa kebijakan moneter perlu bergeser ke pengaturan yang lebih ketat dalam waktu singkat, demi mengatasi kenaikan harga-harga.

Seperti diketahui, The Fed sudah tiga kali menaikkan bunga dalam tiga pertemuannya secara beruntun dan selalu lebih agresif. Kenaikan pertama pada Maret sebesar 25 bps, kemudian kenaikan 50 bps pada pertemuan Mei dan kenaikan lebih besar lagi 75 bps pada pekan lalu.

Ekonom Universitas Universitas George Washington Tara Sinclair menyebut kebijakan The Fed layaknya pesawat terbang yang akan mendarat di landasan pacu yang tidak biasa. Dalam situasi perekonomian seperti sekarang, ia menggambarkan bahwa  pesawat akan mendarat 'di atas tali' dengan angin yang bertiup kencang.

"Gagasan bahwa kita akan menurunkan pendapatan dan belanja yang turun cukup untuk membawa harga kembali ke target 2% Fed, itu tidak realistis," kata Tara Sinclair dikutip dari Financial Times.

Reporter: Abdul Azis Said