Ketika AS, Inggris, dan negara-negara kaya lainnya mengeluh tentang prospek stagflasi dan risiko resesi, orang-orang di beberapa negara berkembang menghadapi pertanyaan yang lebih berbahaya tentang bagaimana menemukan obat untuk tetap hidup.
Krisis keuangan yang mencengkeram 23 juta orang Sri Lanka berpotensi menyebar ke seluruh dunia berkembang dan menyulitkan hidup ratusan juta orang lainnya.
Bloomberg mengeksplorasi iklim ekonomi yang berbeda di berbagai belahan dunia. Pertama adalah pasar negara berkembang yang dicontohkan oleh Sri Lanka, dibebani dengan utang terkait pandemi, inflasi dua digit, dan kekurangan pangan. Kedua adalah Qatar, negara petro yang sudah kaya yang semakin kaya berkat krisis energi global.
Kekacauan terjadi di Ibu Kota Sri Lanka Kolombo, pengunjuk rasa yang marah akibat inflasi mencapai 40% dan telah menunggu selama berhari-hari untuk bahan bakar dan gas menggulingkan Presiden Gotabaya Rajapaksa. Seorang wanita Sri Lanka mengaku tidak dapat menemukan obat-obatan untuk orang tuanya.
“Sangat sulit untuk melihat seseorang meninggal tanpa obat. Anda punya uang, tetapi tidak punya tempat untuk membeli obat," ujarnya.
Krisis keuangan Sri Lanka juga dapat mendatangkan risiko yang lebih besar karena berpotensi menyebar ke negara-negara berkembang lain yang juga menghadapi tingkat utang yang tinggi, kenaikan suku bunga, dan melemahnya mata uang.
Kepala Ekonom Pasar Berkembang Bloomberg Ziad Daoud menyebut, terdapat lima negara yang berisiko jejak Sri Lanka: Tunisia, El Salvador, Ghana, Ethiopia, dan Pakistan. "Pemberi pinjaman ke Sri Lanka akan kehilangan setengah dari investasi mereka," kata Daoud
Hingga saat ini, belum jelas bagaimana negara pulau itu akan menyelesaikan utangnya ke Cina. Di masa lalu, Cina tidak mau bergabung dengan perjanjian multilateral untuk menghapus utang negara miskin. Ia mempertanyakan, apa yang akan terjadi jika pemberi pinjaman lain memaafkan sebagian besar utang Sri Lanka, sementara negara itu melunasi utangnya ke Cina.
Mengutip Reuters, Sri Lanka saat ini berencana memanggil Cina, India, dan Jepang untuk menghadiri konferensi donor demi menggalang lebih banyak bantuan asing dan mengajukan anggaran sementara pada Agustus. Negara ini juga tengah melakukan negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
"Anggaran sementara yang akan diajukan pemerintah pada Agustus, berusaha untuk menempatkan keuangan negara pada jalur yang lebih berkelanjutan dan meningkatkan dana untuk orang miskin yang paling terpukul," ujar Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen.
Ia mengatakan anggaran sementara ini disusun sejalan dengan program IMF dan upaya untuk mencapai keberlanjutan utang, serta meletakkan dasar bagi Sri Lanka untuk kembali ke stabilitas ekonomi.
Pada akhir Mei, Wickremesinghe mengatakan kepada Reuters, akan mengajukan anggaran sementara dalam waktu enam minggu, yang memotong pengeluaran pemerintah "hingga ke tulang".
Kelangkaan kebutuhan dasar dan inflasi yang melonjak telah menimbulkan keresahan publik, mendorong pemerintah Wickremesinghe untuk melipatgandakan upaya mendatangkan bantuan dari lembaga seperti IMF dan negara-negara sahabat.
"Kami membutuhkan dukungan dari India, Jepang, dan China yang telah menjadi sekutu bersejarah. Kami berencana untuk mengadakan konferensi donor dengan melibatkan negara-negara ini untuk menemukan solusi bagi krisis Sri Lanka," kata Wickremesinghe.