Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap PT Taspen belum membayarkan klaim jaminan kematian (JKM) kepada 390 peserta yang nilainya mencapai Rp 12,8 miliar. Lembaga audit negara itu juga menyoroti masih adanya keterlambatan dalam pencairan JKM.
Temuan tersebut terungkap dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 (IHPS) yang dirilis BPK pekan ini. Dalam laporan tersebut, BPK melakukan audit terhadap sejumlah perusahaan pelat merah, salah satunya PT Taspen. Pemeriksaan ini meliputi kegiatan pengelolaan program pensiun, asuransi, pendapatan, biaya operasional dan investasi tahun buku 2020 dan 2021.
"PT Taspen belum membayarkan klaim Jaminan Kematian (JKM) kepada peserta aktif yang meninggal dunia sebesar Rp 12,8 miliar, yang mengakibatkan sebanyak 390 peserta belum mendapatkan hak dan dana klaim JKM tidak dapat segera dimanfaatkan," dikutip dari laporan BPK, Kamis (6/10).
Selain itu, BPK juga mengungkap terdapat pembayaran klaim JKM yang tidak dibayarkan bersamaan dengan pembayaran Tabungan Hari Tua (THT) sebesar Rp 29,52 miliar. Akibatnya, 686 peserta tidak dapat segera memperoleh manfaat atas keterlambatan pembayaran JKM.
Dengan temuan itu, BPK meminta Direksi PT Taspen agar memerintahkan kepala cabang untuk segera membayar klaim JKM kepada 390 peserta yang belum memperoleh haknya. Selain itu, perusahaan juga perlu meningkatkan pengawasan dan memerintahkan Kepala Bidang Layanan dan Manfaat membayar manfaat program JKM bersamaan dengan pembayaran manfaat program THT, sehingga tidak terjadi keterlambatan pembayaran.
Selain temuan di PT Taspen, BPK juga mengungkap permasalah terkait pengelolaan pendapatan biaya dan investasi di 8 BUMN lainnya selama periode 2015-2021. Ini di antaranya:
- Kelebihan pembayaran pada 13 pekerjaan pembangunan jalan tol PT Jasa Marga sebesar Rp 175,25 miliar untuk pembangunan jalan tol Semarang-Batang Paket I, pembangunan jalan tol ruas Terbanggi Besar-Mesuji, dan pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek II elevated.
- PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (DKB) menghadapi risiko going concern, di antaranya kondisi keuangan mengalami kerugian dan negative equity selama 7 tahun terakhir. PT DKB juga tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo sebesar Rp 2,31 triliun, ketidakpastian hak penguasaan lahan dengan PT Pelindo, serta belum memiliki izin terminal untuk kepentingan sendiri.
- PT Bukit Asam (BA) belum optimal mengelola penjualan batubara sehingga dikenakan price adjustment dan penalty sebesar Rp 622,03 miliar dan US$ 8,66 juta, serta demurrage sebesar US$ 8,28 juta.
- Transaksi perdagangan efek atas tiga nasabah PT Bahana Sekuritas (PT BS) mengalami gagal serah dana, yaitu nasabah membeli efek namun tidak menyerahkan dana/uang saat penyelesaian transaksi jatuh tempo sehingga menimbulkan piutang sebesar Rp 55,71 miliar. Hal ini terjadi karena PT BS tidak menerapkan mitigasi risiko terkait penentuan trading limit atas transaksi efek ketiga nasabah tersebut dan nilai collateral saham pada rekening efek ketiga nasabah rata-rata hanya 80%, kurang dari ketentuan minimal rasio collateral sebesar 125%.
- Investasi PT LEN berupa revitalisasi produksi alat komunikasi (alkom) pertahanan pada tahun 2018 dan 2019 sebesar Rp 91,20 miliar belum menghasilkan pendapatan dan laba sesuai dengan tujuan investasi. Penyebabnya karena keputusan investasi tidak didukung perikatan perjanjian atau komitmen kerja sama dengan calon pelanggan khususnya TNI AD, untuk memberikan jaminan terkait keberlangsungan penjualan alkom pertahanan.
- PT Pupuk Kujang (PK) menjual produk utilitas di bawah harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 5,53 miliar kepada PT SKP, yang merupakan anak perusahaan PT PK yang sedang dalam kondisi keuangan kurang baik.
- Klaim pembayaran tambahan atas pelaksanaan proyek pembangunan pabrik feronikel Halmahera Timur yang diajukan oleh PT WIKA sebesar Rp 1,49 triliun belum disepakati oleh PT Antam. Klaim yang diajukan antara lain klaim atas penyesuaian waktu penyelesaian proyek, klaim atas percepatan progres pekerjaan, dan klaim atas uji kelayakan.
- Pemborosan anggaran sebesar Rp 14,5 miliar oleh Perum Peruri. Hal ini karena Perum Peruri menunjuk anak usahanya PT PDS sebagai pelaksana pengadaan platform materai digital. Sementara, PT PDS melakukan subkontrak dengan pihak ketiga untuk pekerjaan tersebut, dan terdapat selisih harga antara nilai kontrak Perum Peruri dengan PT PDS dan nilai kontrak PT PDS dengan subkontraktor.