Kementerian Keuangan menyebut kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masih ditargetkan berlaku tahun depan. Sementata itu, Lembaga nonprofit yang bergerak di isu kesehatan, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyarankan tarif cukai yang berlaku sebesar 20% dari harga untuk bisa menekan konsumsi.
"Prosesnya memang akan panjang, tetapi kita berharap secepatnya bisa (implementasi), 2023 semoga bisa running, karena memang sudah masuk ke target penerimaan tahun depan. Jadi ekspektasi kami memang tahun depan bisa jalan," kata salah satu tim Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian keuangan, Octomuel dalam diskusi dengan CISDI, Selasa (29/11).
Octo menyebut, proses persiapan pengenaan barang kena cukai baru ini masih terus berjalan. Meski demikian ia tidak menampik prosesnya masih akan panjang karena masih ada sejumlah pekerja. Pemerintah perlu menyusun perangkat peraturan, skema pemungutan cukai, proses pendaftaran untuk pengusaha dan prosedur lainnya.
Ia menyebut, Kementerian Keuangan juga masih terus menggodok terkait besaran tarif yang akan diberlakukan. Persiapan, termasuk juga perlunya menganalisa dampak dari pengenaan cukai MBDK terhadap perekonomian.
Meski belum disepakati, Octo menyebut kemungkinan untuk pemungutan cukai MBDK tidak akan jauh berbeda dengan pungutan untuk barang kena cukai lainnya.
"Pemungutannya mungkin kurang lebih akan sama dengan minuman beralkohol, hanya minus ada pelekatan pita cukainya. Untuk sementara, hanya itu yang bisa kami bayangkan karena kami juga masih mencari formula yang paling tepat," kata dia.
Ia menjelaskan prosedur pemungutan cukai MBDK jika nantinya berlaku akan mengikuti mekanisme yang ada saat ini. Perusahaan yang memproduksi minuman berpemanis dalam kemasan perlu melapor terkait jumlah produksinya. Selanjutnya, perusahaan membayar cukai sesuai jumlah produksi dan kadar gula pada produknya. Setelah cukai lunas, perusahaan baru diperbolehkan mengedarkan produknya.
Pemerintah nantinya juga secara berkelan melakukan pengawasan untuk memastikan kepatuhan perusahaan. Proses penindakan terhadap pelanggaran terkait cukai MBDK nanti juga akan sama seperti pengawasan untuk cukai rokok dan minuman beralkohol.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya sempat memberi sinyal penerapan cukai berpemanis tampaknya batal tahun depan. Ia sebetulnya tidak secara spesifik menyebut cukai berpemanis dan plastik belum akan meluncur tahun depan. Namun ia mengatakan, pihaknya sedang tidak mempertimbangkan untuk perubahan kebijakan di bidang fiskal, baik pajak maupun lainnya dalam situasi tak menentu seperti sekarang.
"Perubahan threshold pengusaha kena pajak (PKP) dan lainnya itu sedang tidak kami pikirkan. Kita akan cenderung menjaga secara steady dari pemulihan ekonomi," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Oktober, Jumat (21/10)
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani juga berulang kali mengatakan meskipun rencana cukai berpemanis sudah masuk APBN 2023, namun pihaknya masih terus memantau kondisi terkini. Pengenaan cukai tidak hanya bertujuan mengendalikan konsumsi minuman berpemanis yang buruk bagi kesehatan, tetapi kebijakan ini juga akan mempengaruhi perekonomian.
CISDI Usul Tarif Cukai 20%
CISDI juga menyarankan penerapan cukai MBDK tetap meluncur tahun depan dengan besaran tarif mencapai 20%. “Berdasarkan hasil studi elastisitas harga permintaan yang kami lakukan, kami mengestimasi penerapan cukai MBDK sebesar 20% akan menurunkan permintaan masyarakat rata-rata hingga 17,5%,” kata anggota tim penelitis CISDI Agus Widarjono dalam keterangan tertulisnya.
Riset elastisitas harga permintaan yang dibuat CISDI menunjukkan rata-rata besaran nilai elastisitas produk MBDK yang diteliti sebesar negatif 1,09. Artinya, setiap kenaikan rata-rata harga MBDK sebesar 1% akan diikuti penurunan permintaan produk rata-rata 1,09%.
CISDI menyarankan penerapan besaran cukai MBDK tersebut berdasarkan besaran volume dan kandungan gula pada produksi. Pengenaan dilakukan secara komprehensif, baik ke produk MBDK berpemanis gula maupun berpemanis buatan serta produk MBDK olahan dan siap saji.
Pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis tersebut bertujuan untuk mengendalikan konsumsi karena berefek buruk bagi kesehatan. Apalagi, CISDI menyebut konsumsinya telah meningkat 15 kali lipat dalam kurun waktu kurang dari dua dekade. Pada 1996, konsumsi minuman berpemanis sekitar 51 juta liter, kemudian melonjak menjad 78- juta liter pada 2014. Kenaikan tersebut melebihi penambahan jumlah populasi penduduk Indonesia pada periode yang sama hanya naik 0,3 kali lipat.
"Penerapan cukai MBDK akan menjaga masyarakat dari konsumsi MBDK berlebih dan mengurangi beban biaya kesehatan sebagai akibat obesitas dan PTM,” ujar Agus.