Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bakal mengejar aset milik PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life hingga ke luar negeri. Pasalnya, usai Bareskrim menetapkan 7 tersangka, terdapat beberapa petinggi Wanaartha yang masih melarikan diri ke luar negeri.
“Bareskrim telah menetapkan 7 tersangaka dari pemegang saham, direksi dan juga pengurus dari pada PT Wanaartha Life dan terhadap pelaku yang saat ini ada di luar negeri,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono, dalam konferensi pers, Senin (5/12).
Oleh sebab itu, OJK berkoordinasi dengan Bareskrim agar segera dapat menerbitkan red notice terhadap para tersangka di luar negeri. [OJK] juga mengupayakan agar hasil yang dimiliki oleh tersangka tersebut itu dapat dikembalikan ke Indonesia,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, setelah mengalami kesulitan membayar klaim dan merugikan nasabah, regulator resmi mencabut izin usaha Wanaartha Life.
Keputusan ini disahkan secara resmi oleh OJK dengan nomor KEP-71/D.05/2022 pada 5 Desember 2022. Menurut Ogi, pencabutan izin usaha Wanaartha sebagai perusahaan asuransi jiwa dikarenakan tidak dapat memenuhi ketentuan yang menjadi penyebab dikenainya sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU).
"Sanksi dikenakan kepada PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha karena pelanggaran tingkat solvabilitas minimum, rasio kecukupan investasi minimum, serta ekuitas minimum tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian," katanya.
OJK juga melarang organ perusahaan asuransi tersebut untuk mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan yang dapat mengurangi atau menurunkan nilai aset perusahaan.
Secara tegas, regulator melarang Wanaartha melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa, serta diwajibkan untuk menghentikan seluruh kegiatan usaha baik di kantor pusat maupun kantor di luar kantor pusat Wanaartha.
Dalam pertimbangan pencabutan izin usaha, OJK menyebut karena Wanaartha memanipulasi laporan keuangannya. Wanaartha menyampaikan kewajiban sebelum diaudit sebesar Rp 3,7 triliun, namun kenyataannya setelah diaudit nilainya mencapai Rp 15,84 triliun. Adapun, ekuitas perusahaan sebelumnya disebutkan positif Rp 977 miliar, setelah diaudit ternyata minus Rp 10,02 triliun.