Pandemi Covid-19 mengubah perilaku pekerja muda saat ini yang lebih suka bekerja jarak jauh, alias bukan datang ke kantor. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga bercerita gangguan di pasar tenaga kerja yang kemudian menjadi salah satu penyebab lonjakan inflasi di Amerika Serikat.
"Waktu saya di Amerika Serikat bertemu dengan Bloomberg, dan dia mengatakan saya nggak ngerti kenapa anak muda tidak suka pergi ke kantor, mereka lebih suka di rumah ibunya," kata Sri Mulyani dalam acara CEO Banking Forum, Senin (9/1).
Bendahara negara itu memang diketahui sempat bertemu dengan miliarder Mike Bloomberg pada awal Oktober lalu di Washington DC, AS. Pertemuan itu di sela kunjungannya untuk pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, sekaligus pertemuan terakhir G20 Jalur Keuangan. Bloomberg merupakan miliarder terkaya nomor 11 di dunia versi Forbes hari ini, dia merupakan pemilik media keuangan Bloomberg LP.
Pernyataan Sri Mulyani soal perubahan tren pola kerja menjadi tidak berbasis di kantor dikonfirmasi dalam riset situs pencari kerja di Amerika Serikat, Ladders. Riset tersebut menunjukkan 18% dari pekerja profesional di Amerika Utara bekerja dari jarak jauh pada akhir 2021.
Terdapat tambahan tiga juta pekerjaan baru yang sepenuhnya beralih ke jarak jauh khusus pada kuartal empat 2021 saja. Dengan demikian, riset itu memperkirakan ada lebih dari 20 juta pekerjaan profesional yang secara permanen beralih ke pola kerja jarak jauh.
Laporan tersebut juga menunjukkan semakin banyak pekerjaan bergaji tinggi yang tersedia untuk bekerja jarak jauh. Sebelum pandemi, hanya sekitar 4% pekerjaan bergaji tinggi yang tersedia dari jarak jauh. Kemudian pada akhir 2020, angkanya melonjak menjadi 9%. Bahkan, pada akhir tahun 2021, jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 18%, menandakan hampir 156 ribu pekerjaan bergaji tinggi di Amerika Utara tersedia dari jarak jauh.
Bukan hanya merubah pola kerja, pandemi kata Sri Mulyani juga mempengaruhi terbatasnya pekerja saat awal-awal pembukaan aktivitas ekonomi. Dia menyebut 'hibernasi' selama hampir tiga tahun membuat pemulihan pasar tenaga kerja bisa dengan cepat. Apalagi masih banyak sektor usaha yang kekurangan pekerja.
Ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga kerja memicu kenaikan pada gaji pekerja. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu pemicu lonjakan inflasi di negeri Paman Sam. Semula kenaikan inflasi tersebut dianggap hanya sementara, tetapi realitanya justru berkelanjutan. Alhasil bank sentral AS, The Fed kemudian menempuh langkah tidak biasa dengan kenaikan bunga agresif untuk menjinakkan inflasi.
"Jika anda memperkirakan ekonomi akan bergerak lagi, maka anda harus membayar gaji lebih tinggi, itulah yang sebetulnya paling dikhawatirkan dari para pembuat kebijakan moneter, ketika inflasi menjadi semakin entrance maka akan sangat painful untuk menurunkannya," kata Sri Mulyani.