Pada suatu Senin di tanggal 25 pagi, Ayu (24), membuka notifikasi dari ponsel pintarnya. Itu adalah notifikasi yang selalu ia tunggu-tunggu setiap bulannya alias gajian.
Hanya dalam hitungan menit, ia pun lantas mendistribusikan gaji bulanannya ke berbagai pos pengeluaran rutin bulanan.
Ayu yang baru dua tahun bekerja pascalulus dari bangku kuliah adalah bagian dari sandwich generation. Ia bekerja tak hanya untuk menghidupi diri sendiri tetapi juga orang tua dan adik kandungnya yang masih SMA.
"Baru gajian pagi, siang udah sisa setengah. Padahal nunggu gajiannya sebulan," terang Ayu, bukan nama aslinya.
Kondisi yang dialami oleh Ayu juga dialami oleh Sandro (34). Sandro bahkan harus menafkahi dua keluarga sekaligus lantaran masih menanggung hidup sang ibu dan juga keluarga intinya.
Untuk bisa survive setiap bulannya, Sandro harus mencari penghasilan lain di luar pekerjaan utamanya sebagai staf admin perusahaan swasta di Jakarta.
"Jaman sekarang memang harus pinter-pinter cari kerja sampingan. Kalau ga gitu, gaji cuma numpang lewat aja," jelasnya.
Baik Ayu dan Sandro keduanya paham betul akan kondisi yang mereka alami sebagai sandwich generation.
Dengan usia yang terbilang masih muda dan produktif, keduanya tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk mengumpulkan rezeki lebih supaya bisa ditabung.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Syifa (29), Syifa merasa kelelahan secara fisik dan mental sebagai akibat dari perannya sebagai generasi sandwich.
Sebab, ia kerap mengambil pekerjaan sampingan saat weekend agar bisa memiliki perencanaan keuangan yang lebih memadai.
Hal ini ia lakukan selama tiga tahun terakhir setelah sang ayah pensiun dan adiknya masih kuliah di tingkat akhir.
"Waktu pandemi, hidup saya berubah. Yang tadinya masih bisa travelling karena orang tua masih kerja, terus jadi tinggal saya aja yang kerja," terang dia.
Syifa pun menyadari bahwa rutinitasnya yang terus bekerja bahkan saat weekend ini tak baik untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Ia pun sempat mengalami burnout.
"Saya merasa punya tanggung jawab penuh karena anak pertama, jadi bener-bener kerja keras. Tapi lama-lama stress juga dan mengalami yang namanya burnout," ujar dia.
Permasalahan yang kerap dialami para generasi sandwich hampir serupa. Bukan pemasukan mereka yang kurang, tetapi memang pengeluaran mereka yang selalu berlebih.
Dalam riset yang dilakukan Goodstats.id dengan tajuk “Beban Berlapis Generasi Sandwich di Indonesia”, kewajiban finansial generasi sandwich terbagi menjadi 4 yaitu biaya hidup, bayar hutang, biaya sekolah, dan biaya kesehatan.
Untuk biaya hidup, selain berkewajiban untuk membiayai dirinya, 72 persen generasi sandwich mengaku masih harus membiayai orang tua mereka dan anggota keluarga lainnya
Siasat Memutus Generasi Sandwich Selanjutnya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menyebut, 71 juta penduduk di Indonesia merupakan generasi sandwich.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 8,4 juta sandwich gen tinggal bersama anggota keluarga di luar keluarga inti yang mereka biayai atau disebut dengan extended family.
Artinya, dalam satu RT terdapat keluarga inti dan saudara lainnya, bisa orangtua, menantu, cucu, saudara kandung, ipar, dan sebagainya.
Menurut data Litbang Kompas, lebih dari 61 persen sebaran sandwich gen extended family berada di Pulau Jawa.
Dengan rincian, Jawa Timur (23,71 persen), disusul Jawa Tengah (19,14 persen), Jawa Barat (12,10 persen), Bali (3,99 persen), dan Sumut (3,77 persen).
Dari segi usia, mayoritas generasi sandwich adalah Gen X (40-55 tahun) sebesar 32,6 persen dan Gen Y (24-39 tahun) sebesar 43,6 persen. Kendati begitu, tak sedikit juga para Gen Z (24 tahun) yang menjadi generasi sandwich. Jumlahnya mencapai 16,3 persen.
Memutus rantai persoalan generasi sandwich akan mengurangi potensi permasalahan sekaligus bisa mendorong peluang positif bonus demografi yang digadang-gadang akan berada puncaknya di 2045.
Dengan usia produktif yang meningkat, diharapkan sebuah lompatan besar dalam pembangunan dan kemajuan bisa dicapai, atau yang disebut sebagai bonus demografi. Hal itu dapat ditandai dengan naiknya pendapatan perkapita yang tinggi.
Pada titik ini, warga lansia akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari tabungan yang mereka miliki. Dengan begitu, jumlah generasi sandwich dapat ditekan.
Terlepas dari upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan generasi sandwich, diperlukan pula perubahan pandangan secara individu.
Menghindari pola hidup konsumtif, tak terjebak tren hidup yang tak sesuai kondisi dan mengelola kebutuhan dengan baik menjadi penting untuk memutus rantai ini.
Salah satu cara lain yang bisa dilakukan adalah menyiapkan proteksi untuk masa depan. Salah satu asuransi yang cocok untuk generasi sandwich adalah Asuransi jiwa dwiguna, kombinasi yang memberikan Manfaat Tahapan dan Manfaat Meninggal Dunia dengan pertanggungan sampai dengan usia 100 tahun. Salah satunya,Zurich Plan Protector.
Anda dapat mengatur perencanaan keuangan dengan menggunakan manfaat tahapan sebagai persiapan rencana kehidupan yang akan datang seperti dana pendidikan, dana pensiun, dana cadangan untuk keperluan yang tidak terduga, dan perencanaan keuangan lainnya.
Sementara itu, dengan manfaat meninggal dunia, Anda tak perlu khawatir akan masa depan sang buah hati, jika terjadi risiko yang tak diinginkan. Apabila Anda meninggal dunia karena sebab apapun sebelum jadwal dibayarkannya manfaat tahapan dan polis masih berlaku, maka Zurich Life akan membayarkan 100% uang pertanggungan dan selanjutnya pertanggungan berakhir.
Dengan perencanaan keuangan yang matang, Anda dapat menghindari kejadian generasi sandwich di masa mendatang. Anda tak perlu mengkhawatirkan masa tua Anda karena asuransi jiwa dwiguna dapat juga difungsikan untuk tabungan dana pensiun.
Yuk putus rantai generasi sandwich lewat Zurich Plan Protector, cari tahu sekarang!